Surabaya, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Drs A Hasyim Muzadi berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung itu terlalu maju bagi rakyat Indonesia, karena itu perlu ada kontrol dari nilai-nilai agama.
"Era reformasi perlu dikontrol, karena demokrasi yang terlalu maju akan membuat masyarakat kita menjadi masuk angin, sebab mereka belum siap akibat mereka masih miskin, beragama secara teoritis, berpendidikan rendah, dan sebagainya," katanya di Surabaya, Sabtu.
<>Di hadapan ratusan peserta seminar "Kebangkitan Nasional" di Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya, Hasyim mengatakan implementasi nasionalisme dapat merujuk pada semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" (berbeda tapi tetap satu).
"Untuk itu, perlu ada koreksi atas era reformasi yang terlalu liberal, pengertian agama yang masih teoritis, toleransi secara lintas agama dan etnis yang masih kurang, etos kerja yang rendah, dan pentingnya mengangkat agama dalam kehidupan berbangsa sebatas nilai-nilai," katanya.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang itu menyatakan era reformasi perlu dikontrol, karena situasi yang terlalu liberal di tengah masyarakat yang masih miskin dan berpendidikan rendah akan justru membuat mereka masuk angin.
"Kalau dulu semua jendela ditutup sampai pengap sehingga muncul reformasi, tapi reformasi justru membuka semua sampai semuanya masuk angin. Pilkada hanya diartikan dengan bagi-bagi uang, padahal esensi-nya tidak begitu. Dulu mungkin hanya sentralisasi korupsi, tapi sekarang terjadi desentralisasi korupsi," katanya.
Oleh karena itu, demokrasi yang ada harus disertai koreksi atas reformasi, pemahaman agama yang baik, peningkatan toleransi lintas agama dan etnis, penumbuhan etos kerja, dan pengembangan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa.
"Pengertian agama saat ini juga masih sebatas teori dan belum menjadi perilaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat memang ber-Tuhan tapi tetap korupsi, padahal agama mengajarkan hidup sederhana dan hidup yang halal," katanya.
Menurut dia, toleransi dan mengangkat agama dalam kehidupan berbangsa sebatas nilai-nilai juga tidak ada, sehingga Pancasila menjadi rapuh, karena yang muncul adalah ekstrimisme dan liberalisme.
"Karena itu, agama saat ini memiliki peran penting, termasuk dalam proses demokrasi, sebab tanpa hal itu akan memunculkan konflik, apalagi banyak calon kepala daerah yang tidak punya uang tapi mendapat sponsor, sehingga daerah tidak akan dipimpin bupati tapi dipimpin sponsor dari si bupati itu," katanya.
Senada dengan itu, ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof Dr JE Sahetapy SH MA (ketua Komisi Hukum Nasional) mengatakan Pilkada memang sudah menjadi sumber korupsi.
"Bagaimana tidak, orang mau menjadi calon dalam pilkada saja ditarik uang minimal Rp50 juta untuk mengambil formulir. Uang dari mana sebanyak itu. Rakyat sekarang juga begitu jika diminta mendukung akan selalu menanyakan uang," katanya.
Pandangan itu didukung dosen Fisipol Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Prof Kutut Suwondo selaku pembicara lain. "Siapa yang memberi uang paling banyak akan dipilih, karena itu masyarakat perlu diberdayakan untuk mengawasi kinerja kepala daerah yang pernah memberinya uang," katanya.(ant/mkf)