Warta

Hasyim Beberkan Peran Gus Dur dalam Muktamar NU 1984

Sabtu, 9 Januari 2010 | 06:45 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A. Hasyim Muzadi membeberkan peran Gus Dur dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Hasil terpenting dalam Muktamar ini adalah kembalinya NU ke Khittah 1926 dan penerimaan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal.

Hal ini disampaikannya dalam acara peluncuran buku ”Sejuta Hati untuk Gus Dur" karya Damien Demantra, di aula PBNU, Jakarta, Jum’at (8/1). Acara ini dihadiri putri tertua Gus Dur Anissa Qotrunnada, sejumlah rekan seperjuangan Gus Dur, tokoh tokoh lintas agama, dan ratusan simpatisan Gus Dur.<>

Menurut Hasyim, aktivitas Gus Dur secara formal dalam organisasi NU dimulai pada 1979 dalam Muktamar NU di Semarang. Pascamuktamar Gus Dur diangkat sebagai wakil katib Syuriyah PBNU.

Setahun kemudian Gus Dur memunculkan konsep agar NU menjadi bagian dari civil society, dan terlepas dari partai politik. Gus Dur menginginkan agar NU ditempatkan sebagai tata nilai, sementara kepentingan politik bisa dijalankan oleh para kadernya.

“Ini karya pertama Gus Dur di PBNU. Alasannya karena NU punya dasar nilai kenapa mesti bergabung dengan kelompok kepentingan. Saya tanya apakah politik salah, tidak, kata Gus Dur, saya pun juga nanti akan berpolitik. Tapi NU-nya ini perlu diletakkan sebagai tata nilai bukan tata kepentingan,” kata Hasyim mengenang Gus Dur.

Maka dirumuskanlah Khitttah NU. Awalnya, Khittah ini tidak disetujui oleh banyak orang karena banyak kalangan NU yang sedang menikmati kepentingan politik. Waktu itu NU masih berposisi sebagai partai politik, sebagai bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Beberapa konsep yang diajukan Gus Dur didiskusikan secara serius dan diuji oleh seluruh ulama di Indonesia dalam tenggang waktu sekitar tiga tahun. Selain soal kembalinya NU ke civil society yang kemudian disebut Khittah, ada dua hal lagi yang diajukan Gus Dur yakni soal penerimaan NU terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi negara dan konstitusi negara, dan soal kemandirian jamiyah NU.

“Ketika diusulkan NU kembali ke Khittah ini memang banyak reaksi, tapi tidak sebanyak reaksi yang muncul terkait usulan penetapan kembali Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun karena Gus Dur di-back up ulama besar KH Achmad Sidiiq maka loloslah keputusan bahwa Pancasila sudah final ini. Saya kira satu-satunya organisasi besar yang paling dulu menerima Pancasila sebagai satu-satunyanya saas adalah NU,” kata Hasyim.

Perdebatan yang muncul pada waktu itu adalah apakah Islam cukup diartikan secara tekstual sehingga mengarah pada formalisasi agama atau harus diartikan secara substansial. Gus Dur, kata Hasyim, menekankan perlunya melihat Islam secara substansial sehingga perlu dibedakan antara teologi ritual dengan humanisme. Dan pada titik humanisme inilah yang mempertemukan antara Islam dengan agama lain dalam satu naungan Negara kesatuan Republik Indonesia.

”Berbagai embrio pemikiran Gus Dur ini diteruskan dalam Muktamar NU di Situbondo dengan sebutan 'Khittah'. Maka berkhittah itu, perlu ditekankan di sini, tidak sekedar lepas dari partai tapi bangunan pemikiran NU. Dan Gus Dur yang mempelopori ini,” kata Hasyim. (nam)


Terkait