Jakarta, NU.Online
Pesantren di Indonesia cenderung mengajarkan pluralisme, dan hanya ada beberapa saja yang mengajarkan pandangan radikal.
"Kalau ada satu atau tiga pesantren mengajarkan adikalisme, maka tidak bisa digeneralisasi ke pesantren lainnya," kata Kepala Badan Penelitian dan engembangan Agama Departemen Agama, Prof. Dr. Atho Mudzkar, di Jakarta, Jumat, usai membuka orientasi bagi wartawan "Prospek Pengembangan Madrasah dan Pondok Pesantren".
<>Perilaku suatu lulusan pesantren, kata Atho, tidak bisa disebut mewakili ideologi dari pesantren yang bersangkutan, apalagi sampai dikatakan mencerminkan seluruh pesantren di Indonesia yang jumlahnya mencapai ribuan.
Ia juga mengatakan belum tahu apakah ada pesantren di Jateng yang mengajarkan radikalisme, dan berkaitan dengan organisasi yang dicap sebagai teroris seperti Jamaah Islamiyah.
Atho mengingatkan bahwa kyai-kyai di pesantren memiliki sumbangan kepada bangsa Indonesia. Mereka berjuang melawan penjajahan Belanda untuk mencapai kemerdekaan bangsa ini, namun selama ini selalu terpinggirkan.
Menurut dia, pluralisme di Indonesia sangat mungkin karena Islam di Indonesia tidak memiliki pimpinan agama yang terpusat, namun di sisi lain sulit mengontrol jaringan yang muncul yang sifatnya fundamentalisme radikal atau puritanisme ekslusif.
"Kita harus mencari bentuk pandangan yang benar untuk negara Pancasila ini seperti apa, apakah fundamentalisme, privatisasi agama, pluralisme, agnostik, atau sinkretisme. Semua tidak tepat," katanya. Ia mengingatkan semua pihak tentang tugas bersama untuk menarik semua warga negara Indonesia agar memiliki pandangan ideologis yang benar tentang agama.
Pandangan tersebut yaitu sikap menyadari kebenaran agama yang dipeluk dan mengamalkannya. Pada saat yang sama menghormati pemeluk dan ajaran agama lain, seperti yang diajarkan dalam Islam sendiri.
Ditempat terpisah, hal yang sama diungkapkan pemerhati pesantren, Zastrouw Al Ngatawi, Ia mengakui memang tidak menutup kemungkinan ada salah satu pesantren yang menjadi sarang teroris, karena adanya jaringan, kesamaan pemahaman antara pesantren dengan kelompok yang distigmakan teroris. "Namun hal ini bukan berarti semua pesantren menjadi sarang teroris, karena kenyataannya masih banyak pesantren yang dengan susah payah melakukan sosialisasi nilai-nilai agama yang toleran dan inklusif, meski dengan cara-cara yang tradisional," ungkapnya.(cih)