Warta

Gerakan NU Dinamis, dari Tekstual sampai upaya Liberalisasi Pemikiran

Senin, 31 Agustus 2009 | 08:27 WIB

Jakarta, NU Online
Sebagai organisasi masyarakat yang anggotanya terdiri dari para ulama, pergulatan pemikiran yang berlangsung di dalam tubuh NU dari masa ke masa juga sangat dinamis, dari pandangan yang tekstual sampai upaya liberalisasi pemikiran.

Rais syuriyah PBNU KH Makruf Amin menjelaskan, sampai awal tahun 1990-an, pemikiran dianut oleh para ulama NU masih tekstual. Persoalan-persoalan yang mengemuka dan dibahas dalam bahtsul masail dicarikan dalilnya atau koul (perkataan) para ulama secara tekstual.<>

Dengan banyaknya persoalan baru yang belum ada rujukannya dalam kitab kuning klasik, banyak masalah yang akhirnya menjadi maukuf atau deadlock, tak bisa disimpulkan hukumnya.

“Akhirnya, pendekatannya dirubah menjadi pendekatan manhaji atau penggunaan metodologi yang sama dari yang digunakan para ulama terdahulu dalam memecahkan masalah yang tak terselesaikan itu,” katanya di Jakarta, Senin (31/8).

Kesepakatan ini dituangkan dalam keputusan Musyawaran Nasional (Munas) NU di Lampung pada tahun 1992 yang memberi ruang untuk penyelesaian setumpuk persoalan yang sebelumnya tak tersentuh.

Semangat keterbukaan yang berlangsung ini terus tumbuh dengan lahirnya para pemikir dan intelektual baru di lingkungan NU. Sayangnya, ada diantaranya yang kebablasan dan mengarah pada liberalisasi pemikiran.

“Puncaknya pada muktamar NU di Donohudan Solo yang mana metode tafsir hermenetika dijadikan agenda muktamar,” tandasnya.

Untungnya para peserta muktamar menolak pengakuan metode tafsir ini sehingga NU tetap pada jalurnya sebagai gerakan Islam moderat ahlusunnah wal jamaah.

Dalam Munas NU di Asrama Haji Surabaya yang berlangsung pada tahun 2005, keputusan NU pada ajaran ahlusunnah wal jamaah ini diperkuat dengan fikrah nahdliyyah.

Beragam Gerakan Islam

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Makruf Amin juga menjelaskan berbagai gerakan Islam yang saat ini tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Golongan pertama adalah Islam radikal, yang dengan gampang menggunakan kata-kata jihad dan menggunakan teror atas nama agama dengan doktrin perang global melawan non muslim.

“Indonesia adalah wilayah aman, wilayah dakwah yang memposisikan non muslim bukan saling memerangi, tetapi saling berjanji hidup secara damai,” katanya.

Golongan kedua adalah Islam tekstual yang menyebut dirinya golongan salafy. Mereka berpendapat segala sesuatu harus ada teks atau rujukannya dalam al Qur’an dan Hadist, jika tidak ada, dianggap bid’ah. “Aturan Islam bukan sesuatu yang kaku, bukan tekstual,” tandasnya.

Mengutip pemikiran Syeikh Ramadhan Al Buthi, Makruf Amin menjelaskan, mereka yang terlalu kaku dalam memandang agama termasuk mengalami kesesatan karena tidak mampu menguraikan maksud ulama terdahulu sesuai dengan konteks zaman sekarang.

Golongan ketiga adalah kelompok liberal yang menganggap segala sesuatu tidak ada yang qot’i (pasti), sampai-sampai menganggap ada ayat yang sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang sehingga perlu dilakukan amandemen.

NU, dalam hal ini masuk dalam kelompok ahlusunnah wal jamaah, tetapi masih selektif, karena hanya menerima ajaran empat mazhab yang sudah jelas metodologinya dan dinamis dalam berfikir. NU tidak menggunakan mazhab Auzai, Sofyan at Tsauri atau Ibnu Iyainah. (mkf)


Terkait