Warta

Gerakan 'Kultural' NU Dinilai Melemah

Rabu, 29 Oktober 2008 | 06:37 WIB

Jember, NU Online
Gerakan kultural Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan penggemblengan moral, advokasi dan perjuangan hak-hak sipil dinilai melemah. Faktor utamanya adalah gaya hidup yang hedonistik dan pragmatisme politik.

Demikian dalam diskusi terbatas dengan tema Masa Depan Gerakan NU Kultural yang diadakan oleh Pengurus Cabang Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jember di Kantor PCNU Jember, Jl Imam Bonjol 41A Jember, Senin (27/10) lalu.<>

Diskusi dihadiri puluhan anak-anak muda NU di Jember yang tersebar di PMII, IPNU, IPPNU, dan beberapa LSM, dipandu oleh MN Harisudin, Dosen STAIN Jember, menghadirkan narasumber Ketua Yayasan LKiS Yogyakarta Jadul Maula, Ketua Alumni PMII Jember M. Nur Hasan.

Menurut Harusuddin, gerakan kultural anak muda NU yang secara masif bergerak di ranah intelektual, advokasi dan perjuangan hak-hak sipil mulai menggeliat sejak tahun 1980-an hingga 1990-an. Namun kini telah memudar.

“Gerakan kultural ini telah dikalahkan oleh arus hidup yang hedonistik dan pragmatisme politik,” ujarnya.

M. Nur Hasan yang juga dosen FISIP Universitas Jember mengatakan, penyokong NU adalah pesantren yang dulu menjadi pusat pemberdayaan mustadl’afin (kaum lemah), pusat penggemblengan moral dan pusat advokasi masyarakat.

“Sayang, fungsi itu telah hilang sekarang. Telah ada pergeseran fungsi NU dan pesantren yang di masa sekarang semakin menjauh,” tutur Nur Hasan yang juga pengasuh Pesantren Sunan Ampel Sukorambi Jember.

Menurut Nur Hasan, meski sejumlah kiai atau pengasuh pesantren yang masih konsisten di arah ini, namun jumlahnya tidak signifikan. Nur Hasan menyayangkan hilangnya nilai-nilai moral yang semestinya bertumbuh-kembang di pesantren.

“Gerakan para pemimpin NU, baik yang struktural maupun kultural, menurut saya, sudah mengarah pada pragmatisme dan hedonisme belaka,” tutur pria asal Lamongan tersebut.

Secara umum, demikian Jadul Maula mengungkapkan, saat ini tidak terjadi reformasi, tapi deformasi. Jika dibandingkan dengan masa 80-an, musuh bersama para aktivis adalah Orde Baru. Saat itu, negara kuat dan rakyat lemah. Sehingga, berbagai eksponen masyarakat perlu menguatkan rakyat dengan berbagai agenda pemberdayaan masyarakat.

Kini, di masa reformasi, keadaan telah berubah. Rakyat lemah, negara lemah dan yang kuat adalah pasar. “Teori-teori sosial sekarang sulit memprediksi apa yang akan terjadi ke depan,” tutur Jadul.

Kendati keadaannya lebih sulit, pengasuh Pesantren Kaliopak itu tetap berharap adanya komunitas yang terus melakukan perubahan. ”Dimulai dengan diri sendiri diteruskan pada komunitasnya yang akhirnya akan mampu melakukan perubahan sosial di masa yang akan datang,” katanya. (ris/nam)


Terkait