Warta

Forum Rektor Tolak Masuknya Perguruan Tinggi Asing

Jumat, 29 Oktober 2004 | 08:17 WIB

Jakarta, NU Online
Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MR-PTN), menerbitkan deklarasi menolak Agreement on Trade in Services (GATS) dalam layanan Pendidikan Tinggi (PT). Deklarasi itu segera disampaikan kepada Pemerintah RI, UNESCO, dan WTO. Pasalnya, masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia akan merusak ideologi, budaya akademik dan sistem sosial yang telah menjadi bagian dari pendidikan.

Demikian disampaikan Ketua Forum Rektor Indonesia, Prof Dr Marlis Rahman kepada wartawan di Jakarta, Kamis (29/10) malam. Hadir dalam pernyataan deklarasi tersebut, Rektor Universitas Gajah Mada, Prof Dr Sofian Efendi, Rektor Universitas Diponegoro, Prof Ir Eko Budihardjo, M.Sc, Rektor Universitas Trisakti, Prof Dr Thoby Mutis, Rektor Universitas Bengkulu, Prof Dr Zulkifli Husin, Rektor Universitas Surabaya, Drs Wibisono Hardjopranoto, Rektor Universitas Udayana, Ir Rumawan Salain, M.Si, Rektor Universitas Muslim Indonesia, Dr HM Nasir Hamzah dan Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia FRI, Prof Dr Sujana Sapiie.

<>

Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah ikut meratifikasi konvensi WTO dan GATS pada tahun 2001 lalu, yang salah satu butirnya mengenai globalisasi jasa pendidikan. Tanggal 15 November merupakan batas akhir pelaksanaan dokumen ratifikasi tersebut, artinya pemerintah harus mentaati kesepakatan yang telah dibuat. "Kami ingin mendesak pemerintah untuk tidak mentaati atau membatalkan ratifikasi tersebut khusus untuk jasa pendidikan. Masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia jelas merupakan bentuk neo imprealisme atau penjajahan gaya baru terselubung," ujar Rektor Universitas Gajah Mada, Sofian Effendi.

Menurut Sofian, masuknya PT asing dalam perdagangan jasa ini dalam naskah ratifikasi WTO dan GATS, diawali dari hasil survei Universitas Tong Shanghai tahun 2003. Dalam survei itu disebutkan, tidak ada satu pun PT di ASEAN yang masuk dalam barisan 500 top world universities. Hal itu dimanfaatkan Australia dan Amerika Serikat sebagai peluang bisnis. Karenanya, kedua negara tersebut berjuang keras memasukkan layanan PT dan layanan PT selama hayat (life-long education) sebagai suatu jasa, yang sistem perdagangannya perlu diatur oleh WTO dalam GATS.

"Meskipun begitu, para Rektor di Amerika Serikat, Kanada dan Jepang, telah mengeluarkan pernyataan bersama menolak komersialisasi jasa pendidikan lewat GATS. Mereka menyadari betul hal ini merusak kepentingan domestik, lokal dan sub lokal di dunia dalam konteks tujuan pelaksanaan pendidikan yang tidak sama antar negara atau pemerintahan," ujarnya.

Ironis

Sedangkan Rektor Universitas Diponegoro menjelaskan, pendidikan Tinggi dan pendidikan selama hayat tidak lagi dipandang dalam wilayah kegiatan budaya yang diatur oleh UNESCO, tetapi suatu komoditi yang diatur WTO.

"Ketika menandatangani perjanjian GATS, pemerintah negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa perjanjian itu akan berimplikasi pada sistem pendidikan jangka panjang. Dan ironisnya, wakil pemerintah Indonesia yang menandatangani adalah Departemen Perdagangan yang tidak memahami essensi pendidikan. Para pejabat Departemen Perdagangan yang menandatangani GATS atas nama pemerintah, tidak sepenuhnya memahami, bahwa jasa pendidikan, sangat berbeda dengan barang dan jasa lainnya," ujar Eko.

Sedangkan Rektor Trisakti, Thoby Mutis mengingatkan empat tugas utama pendidikan, yakni mempertahankan dan mengembangkan landasan intelektual dan kultural suatu bangsa, mempertahankan identitas nasional, menjadi sumber inspirasi dan kebangsaan atas prestasi nasional dan mengembangkan dialog untuk meningkatkan pemahaman tentang budaya pluralitas, menjadi tidak relevan dengan komoditas dagang yang ada dalam GATS.

Dikatakan, semua tujuan tersebut dirangkum secara padat dalam Pembukaan UUD 45, bahwa Pemerintah Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa. Terkait dengan hal tersebut, rektor mempertanyakan, apakah tugas pendidikan itu dapat terlaksana dengan baik, jika penyelenggaraannya diatur sebagai sebuah perdagangan bebas jasa oleh sebuah badan internasional yakni WTO. "Untuk mengamankan pendidikan dari globalisasi pendidikan, kami akan berupaya meningkatkan mutu dan terus mendorong internasionalisasi pendidikan tinggi dalam kerangka kerjasama kebudayaan di bawah koordinasi UNESCO, dan bukan melalui WTO," katanya. (sp/cih)


Terkait