Jakarta, NU.Online
Peran Departemen Agama (depag) dimasa mendatang akan dikurangi hanya menjadi badan pengawas dalam pelaksanaan haji. Pasalnya, dalam rapat paripurna DPR, Senin (16/2), seluruh fraksi dalam pandangannya menyetujui perubahan UU nomor 17 tahun 1969 tentang penyelenggaran ibadah haji.
Usulan paling penting dalam UU tersebut adalah revisi monopoli peran Depag dalam pelaksanaan haji. Sebelumnya Depag adalah satu-satunya lembaga penyelenggara sekaligus pengawas ibadah haji. Dalam usulkan tersebut nantinya Depag dikurangi menjadi pengawas saja.
<>Pemisahan peran tersebut, menurut Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), untuk membuka akses dan peran yang lebih besar kepada masyarakat. Sebab selama ini, Depag masih belum melakukannya sesuai prinsip good government dan manajeman yang moderen. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya depag tidak bisa menjadi penyenggara sekaligus melakukan kontrol ibadah haji.
“Tidak bisa keduanya sama-sama dilakukan oleh depag. Perlu melibatkan masyarakat secara luas. Sudah seharusnya pemerintah tidak mengelola dana msyarakat dan perlu juga dilakukan secara transparan,” ujar juru bicara FPP Syahrudi Tanjung.
Sementara itu, FPDIP berharap revisi UU No 17 tersebut depag harus memberi peran kepada masyarakat, pemerintah daerah dan swasta. Dengan begitu Depag pekerjaan depag akan lebih fokus sebagai penanggungjawab dan pengawas penyelenggaraan haji secara menyeluruh.
“Penyelenggaraan ibadah haji secara nasional tetap menjadi tanggungjawab Dpag. Tapi dalam pelaksanaannya dapat dibentuk badan independen dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha,” kata juru bicara FPDIP Ahmad Arief Munandar.
FPDIP juga mengusulkan agar tahun depan nanti, jamaah yang diberangkatkan ke Tanah Suci adalah yang belum pernah menunaikan ibadah haji “Untuk menciptakan pemerataan, bagi jamaah yang pernah berangkat haji hanya dapat mengulang paling cepat 5 tahun,” imbuh Aries.
Menyinggung wacana pemberlakukan pajak progresif bagi jamaah haji yang sudah lebih dari satu kali sah-sah saja. Namun hendaknya tidak menggunakan bahasa pajak, karena image jelak jika orang ibadah di pungut pajak. Bahasa yang santun adalah pungutan sodakoh dengan ketentuan tertentu Hal itu disampaikan anggota komisi VI DPR dari FPDIP Ahmad Arief Munandar kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/2).
Lebih lanjut Aries mengatakan, pemberian sodaqoh atau bahasa lain dari pajak penting dilakukan untuk membatasi orang naik haji lebih dari satu kali. Hasil sodakoh tersebut harus dikhususkan bagi kepentingan atau kaum dhuafa yang masih banyak di Indonesia. “Orang yang pergi lebih dari satu kali, dia dianggap orang mampu. Jadi lebih baik hartanya ada yang ditinggalkan untuk memperhatikan orang-orang miskin di sekitarnya. Jangan tinggalkan hutang,” katanya.
Dia menambahkan, Departemen Agama (depag) harus melakukan pengawasan yang ketat bagi mereka yang akan pergi haji lebih dari satu kali. Depag tentu memiliki data bagi mereka yang sudah naik haji. Bahkan kalau perlu, untuk membatasinya, Depag menaikan ongkos nasik haji hingga 20 persen. “Yang naik haji lebih dari satu kali berarti orang kaya. Supaya ada kesadaran memberikan kesempatan bagi yang belum naik haji, perlu juga ongkos naik hajinya di naikan, “ katanya. (sby)