Kairo, NU.Online
Baru-baru ini, beberapa tokoh Nahdlatul Ulama berkunjung ke Kairo dalam rangka menghadiri Lokakarya dan Silaturrahmi Kader NU Luar negeri yang berlangsung dari tanggal 30 Juli sampai dengan 1 Agustus 2003. Rombongan yang dipimpin langsung oleh KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) sendiri, antara lain, terdiri dari Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj, KH Fawaid As'ad, KH Muhaiminan Gunardho, KH Masduqi Mahfudz, KH Manarul Hidayat, KH Nuruddin A. Rahman, Dr. Musdah Mulia, Dr. Siti Muriah dan, Ulil Abshar-Abdalla.
Simposium dan Lokakarya yang berlangsung tiga hari (30-1 Agustus) hasil kerjasama PCINU Mesir, Lembaga Filsafat Mesir dan KBRI di Cairo yang mengambil tempat di Auditorium Fakultas Ekonomi al Azhar barang kali kurang mendapatkan sorotan pers di Indonesia.
<>Simposium yang merupakan ajang silaturrahmi PCINU (Panitia Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) luar negri ini membahas berbagai tema intern dan lebih menekankan kepada bagaimana menciptakan hubungan yang lancar dan lebih menguntungkan demi pemberdayaan warga Nahdlatul Ulama, khususnya yang sedang menempuh studi di luar negri.
Adapun Lokakarya yang menempati hari ketiga dengan mengambil tajuk 'Dialog Islam Arab-Indonesia' ini dihadiri oleh mayoritas masyarakat Indonesia di Cairo, masyarakat Mesir dan beberapa wartawan arab. Berbagai macam tokoh dengan latar belakang dan aliran yang majemuk dihadirkan dalam forum itu. Delegasi Indonesia yang diwakili oleh KH. Hasyim Muzadi, Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj dan Ulil Abshar Abdalla duduk dalam satu forum bersama Prof. Dr. Hassan Hanafi, Dr. Ishom 'Uryan (Ketua Gerakan Ikhwan Muslimin) dan Dr. Abu Ila Madli (ketua Partai Moderat Mesir). Forum itu juga menghadirkan seorang indonesianis yang selama ini tinggal di Australia, Michael Laffan.
Lokakarya yang mengambil grand tema 'Pembaruan Wacana Keagamaan', 'Masa Depan Gerakan Islam' dan 'Gerakan feminisme Mesir-Indonesia' ini berlangsung dengan meriah dan berhasil menelurkan beberapa point penting dan kesepahaman.
KH. Hasyim Muzadi yang didaulat memberikan presentasi pertama lebih banyak menjelaskan sikap Nahdlatul Ulama' yang mencoba untuk mengambil jalan 'muhafadlah ala qadim as shalih wa al akhdzu bil jadid al ashlah' dengan tetap memposisikan diri sebagai oraganisasi yang kritis dihadapan warisan sejarah dan budaya modern. Lain halnya dengan KH. Said Agil Siradj yang tampil memukau dengan bahasa arab Libanon bercampur Mesir. Ia banyak mengkritik Islam yang hanya dipahami sebatas simbol dan lambang an sich. Ia kemudian memberikan sebuah parodi seekor anjing yang menggigit seorang syeikh yang sedang khsusuk memutar tasbih menuju mesjid, syeikh itu kemudian balik memukul anjing yang menggigitnya, batin anjing berkata 'Mengapa orang yang pakai surban dan tasbih masih cepat marah?'.
Parodi ini memberikan kesimpulan bahwa simbol tidak mencerminkan isi dan hati yang bersih. Menurutnya, pembaruan wacana keagamaan harus menyentuh aspek ini, dari bentuk menuju esensi. Ia juga menyinggung sikap yang selama ini secara konsisten dipegang oleh Nahdlatul Ulama sebagai ormas, yaitu moderatisme. Sikap ini kita lakukan dalam segala aspek permasalahan, begitu juga dalam pembaruan wacana keagamaan. Bagaimana menjadi muslim yang taat sekaligus modern. Nahdlatul Ulama tidak ke'kanan' sekaligus juga tidak ke'kiri'.
Dalam hal pembaruan wacana keagamaan Hassan Hanafi memberikan perspektif cukup baik dengan konsep yang kemudian ia tawarkan. Menurutnya, pembaruan wacana keagamaan harus dimulai dengan segera dengan mengandaikan tiga wilayah pembaruan. Pertama pembaruan istilah, kedua, pembaruan tema dan ketiga, pembaruan metode. Menurutnya Istilah-istilah yang dipakai oleh ulama salaf belum tentu relevan untuk kita terapkan sekarang, begitu juga tema yang populer dikalangan mereka bisa jadi harus kita ganti dengan tema lain yang lebih urgen dan relevan, semuanya diperlukan pembaruan yang simultan.
Dalam hal ini, Hassan Hanafi dengan kalimat-kalimat yang cerdas dan suaranya yang enak didengar memberikan penjelasan yang begitu gamblang bahwa, dalam ikhtiar pembaruan wacana keagamaan, khususnya dalam proyek pembaruan tema kita harus berangkat dari realita yang sekarang ini mendesak untuk kita pecahkan. Dari realita menuju teks yang mencerahkan. Bukan masanya lagi kita berbicara masalah iman, surga, neraka, malaikat dan hal-hal ghaib lainnya dengan begitu menggebunya. Problem umat yang paling aktual dan wajib kita pecahkan adalah bagaimana kita tampil menyikapi kemiskinan, keterbelakangan, modernitas, globalisasi, kolonialisasi dan sebagainya. Dengan bahasa yang terkesan lebih provokatif dan rentan disalahpahami ia menyatakan bahwa kita tidak butuh surga, kita tidak takut neraka akan tetapi kita butuh penyejahteraan dan ketertiban umat di dunia.
Kemu