Dalam hubungan industrial, hubungan buruh, industriawan dan pemerintah tak selalu dalam posisi yang berhadap-hadapan. Sangat dimungkinkan munculnya kerjasama antara fihak-fihak tersebut untuk menyelesaikan berbagai persoalan perburuhan.
Wakil Sekjen PBNU Abdul Mun’im DZ mencontohkan, sebuah industri milik pemerintah di Jerman mau di jual karena menuju bangkrut, tetapi berkat kerjasama dan sikap nasionalisme karyawan, semua pegawai mau dipotong gajinya untuk biaya investasi sehingga akhirnya bisa selamat.<>
“Ini terutama bisa menjadi contoh bagi BUMN agar tidak didivestasi dan menjadi milik asing sehingga kita menjadi buruh bagi orang lain,” katanya dalam seminar “Memantapkan hubungan industrial yang harmonis dan demokratis menuju buruh sejahtera, produktifitas meningkat, negara kuat dan bermartabat” yang diselenggarakan DPP Sarbumusi di gedung PBNU, Rabu (27/4).
Sejarah juga telah menunjukkan hubungan yang sangat harmonis antara para kiai NU dan buruh tani. Kampanye PKI yang menyebut kiai sebagai setan desa dan menjanjikan pembagian tanah bagi para buruh tani yang memilih PKI ternyata tidak mempan karena para petani lebih memandang para kiai sebagai figure panutannya.
Sayangnya, sistem demokrasi liberal buah dari runtuhnya rezim orde baru ini seperti reformasi yang memakan anak sendiri. “Buruh pecah belah karena sistem demokrasi liberal ini. Jargon kaum buruh bersatulah tidak akan ada. Antara buruh saja tidak bisa bersaut apalagi dengan pengusaha,” terangnya.
Persoalan perburuhan yang terjadi sekarang adalah kapitalisme global dan sistem ekonomi neoliberal yang menyebabkan terjadinya eksploitasi buruh seperti munculnya outsourcing yang menghilangkan hak-hak dasar buruh.
Secara lokal, deindustrialisasi merupakan masalah yang menghantui kaum buruh karena menyebabkan hilangnya kesempatan kerja. Pengusaha sekarang hanya menjadi importir. Masalah buruh migran, dan munculnya ekspatriat dengan diskriminasi gaji yang sangat lebar dengan karyawan lokal menjadi persoalan lain yang ditangani.
Ia mengapresiasi kebijakan Menakertrans yang mencabut izin PJTKI yang melanggar aturan, padahal buruh memiliki risiko yang sangat besar ketika bekerja di luar negeri.
Ia berharap persoalan pemulangan buruh di bandara yang seringkali menjadi korban pemerasan bisa diselesaikan oleh Depnakertrans secara tuntas.
“Buruh sangat membutuhkan perlindungan dari negara. Bagaiman tripartite benar-benar dilaksanakan, tidak ada jalan lagi kecuali tiga elemen ini bersatu,” tandasnya.
Sementara itu Djimanto dari Apindo juga menghimbau agar pola piker senasib sepenanggungan harus lebih ditonjolkan, termasuk jika ingin menuntut hak, hendaknya didasari pada pola piker profesionalitas didasarkan pada produktifitasnya. Ini dikarenakan kemampuan pengusaha membayar gaji dari penjualannya, bukan dari pajak sebagaimana pemerintah membayar gaji pegawai. Ia juga menjelaskan, pengusaha sekarang tak bisa main-main dengan hak buruk karena tak akan mendapat order jika melanggar hak asasi manusia.
Djunaidi Ali, anggota LKS yang juga mantan ketua umum Sarbumusi mengungkapkan persoalan buruh saat ini berbeda dengan zaman orde baru. Otonomi daerah telah menyebabkan banyak kebijakan nasional yang tidak diterapkan di daerah sehingga sering menjadi persoalan perburuhan.
Selanjutnya, Suharyono dari perwakilan ILO Jakarta juga mengungkapkan dibukanya kebebasan berserikat telah menjadi persoalan tersendiri. Sekarang banyak sekali konfederasi dan serikat buruh yang masing-masing dirinya merasa paling hebat, yang menyebabkan pengusaha menjadi kebingungan. “Pengusaha inginnya serikat buruh yang kuat,” katanya mengutip pernyataan dari ketua Apido Sofyan Wanandi. (mkf)