Jakarta, NU.Online
Sekitar 800 karyawan pabrik Gula Radjawali Gorontalo sejak dua hari terakhir ini melakukan aksi mogok kerja sambil menuntut menaikan gaji menjadi Rp 700 sampai Rp 800 ribu per bulan, seperti dikutip Antara.
Tuntutan seperti ini muncul di berbagai daerah akibat liberalisme pemerintah dalam industri gula yang "sudah kebablasan", hingga yang dirugikan bukan produsen lokal secara langsung tapi juga kepada buruh, menyangkut hak-hak mereka mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak. Dengan liberalisasi itu, organisasi perdagangan dunia (WTO) dapat membatasi besarnya Bea Masuk (BM) dari impor gula. Akibat langsung, kita bisa menyaksikan keruntuhan, dan krisis yang menimpa industri gula, baik di negara-negara gula asing, maupun Indonesia. Keruntuhan itu sudah pasti diderita produsen gula yang membutuhkan biaya tinggi untuk produksi gula mereka
<>Siapa pun tidak mau merugi dalam berproduksi, begitu juga perusahaan. Masalahnya, adalah mata rantai proses produksi yang high cost itu tak mudah dihindari. Petani tebu misalnya, karena harga jual tebu murah dan mereka terus merugi, lantas mereka menggantinya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan. Akibatnya pabrik-pabrik berhenti beroperasi atau mengurangi volume produksinya, karena pasokan tebu dari petani berkurang. Sehingga rasionalisasinya untuk menghindari defisit, perusahaan mengurangi atau menunda gaji karyawan. Disisi lain para karyawan juga berhak menuntut, apa yang menjadi haknya.
Menurut Taufik Nurdin mewakili para karyawan PG Radjawali, Sabtu di Gorontalo, mengatakan, pihak perusahaan harus memenuhi tuntutan tersebut karena itu merupakan janji para direksi yang sampai saat ini belum terealisasi. Tuntutan tersebut sangat beralasan karena pabrik gula Radjawali pada sejumlah cabang di daerah lain memberikan gaji karyawan sekitar Rp 700 sampai Rp 800 ribu per orang setiap
bulan.
Saat ini, rata-rata gaji dipabrik gula Radjawali Gorontalo sekitar Rp 430 ribu setiap orang per bulan, sangat berbeda dengan gaji karyawan Radjawali di daerah lain, maka minta keadilan dari direksi., " ujar Taufik.
Sementara Heru Mulyono mewakili perusahaan pabrik gula tersebut, mengatakan, belum bisa mengambil keputusan atas tuntutan para karyawan karena saat ini para direksi sedang membahas soal tuntutan itu di Jakarta. Diharapkan para karyawan itu bersabar sambil menunggu keputusan dari Jakarta dan jangan bertindak atau melakukan perbuatan merusak karena akan merugikan karyawan dan juga perusahaan, ujarnya.
Perselisihan antara perusahaan dan karyawan memang harus segera dituntaskan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kebijakan pemerintah secara makro terhadap industri gula dapat dicarikan jalan keluar yang menguntungkan semua pihak. sehingga industri gula nasional tidak menjadi macan ompong di negeri sendiri akibat librelisasi ekonomi global. (Cih)