Sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia saat ini belum memungkinkan lahirnya seorang pemimpin ideal yang berhasil membawa Indonesia mengatasi berbagai rintangan yang menghadang.
Demikian dikatakan oleh pengamat politik J. Kristiadi dalam seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) di Jakarta, Kamis (17/7).<>
Pemimpin yang ideal menurutnya adalah orang yang memiliki visi komitmen, kearifan, keberanian dan mampu memanage orang sekaligus datang pada saat yang tepat.
“Aturan dan dasar sistem yang ada kurang memungkinkan seseorang menjadi pemimpin yang kuat di Indonesia, tidak mudah, hampir tidak ada pemimpin yang ideal dimana pemimpin mendapatkan dukungan yang riil,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana koordinasi antara presiden dan partai politik dalam pengembangan program saat ini sangat sulit karena regulasi belum mengatur secara detail sistem pemerintahan.
Menurutnya, kunci perbaikan pemerintahan adalah perbaikan sistem secara pelan-pelan sehingga siapapun yang akan memerintah pasti mengikuti aturan yang sudah dibuatnya. Di negara yang sudah mapan sistemnya seperti Amerika Serikat, seorang anak muda berumur belasan bisa menjadi walikota karena sistemnya sudah baik dan tinggal menjalankannya.
“Jangan sampai terjebak kita mengharapkan ratu adil, yang ada hanyalah orang-orang biasa saja, yang sangat penting adalah membangun sistem,” paparnya.
Sementara itu ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Fuad Bawazir menjelaskan kelahiran pemimpin sangat dipengaruhi oleh situasi yang ada. Soekarno dilahirkan pada masa revolusioner sehingga tindakannya selalu revoluasioner. Soerharto dilahirkan pada masa ancaman PKI sehingga represif sedangkan SBY lebih didominasi oleh politik citra daripada kinerjanya.
Ia melihat para pemimpin saat ini mengkompensasi kelemahannya dengan mencari dukungan pada fihak asing, seperti yang dilakukan oleh para penguasa masa lalu ketika bekerjasama dengan Belanda untuk menguatkan posisinya dengan memenuhi keinginan fihak asing daripada keinginan rakyat. Internasinalisasi masalah ini semakin membuat Indonesia posisinya semakin lemah.
“Apakah ada yang mau mengetakan saya akan bernegosiasi pertambangan, saya akan stop hutang luar negeri, saya akan stop impor beras,” katanya.
Pendapat Fuad Bawazir ini diamini oleh Effedi Choirie yang berpendapat pemerintah saat ini lebih banyak melayani kepentingan asing daripada rakyat.
“Pemerintah sekarang lebih banyak melayani kepentingan asing daripada rakyat bawah, milih investor asing daripada memobilisasi investor pribumi, dan dijadikan satu kekuatan perekonomian nasional,” terangnya.
Ia mengaku memiliki banyak data yang menunjukkan keberfihakan pemerintah kepada investor asing yang menguasai sumber daya dan energi di Indonesia. Akibatnya kekuatan Indonesia berada di tangan asing.
“Pemerintah ketika mengalami kekurangan APBN lebih banyak menjual BUMN, sekarang yang terdaftar untuk didivestasi 40 lebih dan kita (DPR.red) rame-rame menolak,” tandasnya.
Seorang pemimpin ideal menurunya harus mampu merealisasi empat tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, mensejahterakan, mencerdaskan dan ikut memperjuangkan perdamaian dunia.
Sayangnya belum ada pemimpin Indonesia yang mampu menerjemahkan menjadi detail dari tujuan-tujuan itu. Ia mencontohkan kebijakan ekonomi trickle down effect, yang mengabaikan para petani yang hidup di desa, padahal sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan. Kebijakan tersebut terbukti gagal. (mkf)