Syeikh Burhanuddin dilahirkan sekitar awal abad 17. nenek moyangnya berasal dari Guguk Sikaladi Pariangan Tanahdatar Sumatera Barat. Neneknya bernama Puteri Aka Lundang, seorang keturunan bergelar Puteri. Kakeknya dikenal dengan panggilan Tantejo Guruhano.
Dari keduanya lahir seorang laki-laki, Pampak Sati Karimun Merah, seorang pertapa sakti yang dikenal luas dalam masyarakatnya sebagai ”Datu” (pemberi obat) bagi masyarakat. Laki-laki inilah ayah Syeikh Burhanuddin. Sedangkan ibunya, seorang putri bernama Puteri Cukup Bilang Pandai. Demikian Drs. Shalahuddin Hamid, MA dan Drs. Iskandar Ahza, MA.<>
Di usia 7 tahun, Burhanuddin belajar kepada orang Gujarat bernama Illapai. Kemudian pindah belajar menelusuri hutan melewati Nagari Malalo, Asam Pulau dan sampai di Nagari Sintuak Lubuak Aluang. Di sini menetap sebagai perantauan pertamanya. Kemudian belajar dengan Tuanku Madinah yang bergelar Syeikh Abdullah Arief. Kemudian melanjutnya pendalaman agama ke Singkil dengan Syeikh Abdurrauf.
Hampir seluruh penulis sepakat menyatakan pada masa kekuasaan Kerajaan Aceh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), pesisir barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman sampai Indrapura berada dalam pengaruhnya. Dalam suasana demikian, Syekh Burhanuddin bersama teman-temannya menyebarkan Islam.
Dengan pendekatan persuasif, sesuai dengan kondisi masyarakatnya, Syeikh Burhanuddin mengislamkan remaja dan anak-anak dengan budaya (tradisi) lokal. Dakwah disampaikan secara berangsur-angsur. Gerakan Syeikh Burhanuddin yang masih teasa hingga kini di Minangkabau adalah penobatan gelar setiap pemekang kekuasaan agama di masyarakat.
Tumbuhnya ulama-ulama dengan sebutan Imam, Khatib, Tuanku dan Labai, yang memberi corak tersendiri bagi struktur Minangkabau. Berikutnya juga tumbuh masjid, surau dan rumah ibadah di setiap nagari, jorong (sekarang dusun), desa (sekarang korong).
Menurut Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Padangpariaman Zulhelmi Tuanku Sidi, perpaduan agama (Islam) dengan adat (Minangkabau) yang melahirkan “Adat Basandi Syarak, Syarah Basandi Kitabullah” di Bukit Marapalam Tanahdatar adalah semasa Syeikh Burhanuddin. Sehingga lahir ungkapan, “syarak mangato, adaik mamakai” (hukum agama membicarakan, adat yang menjalankan).
Lahir pulalah “adaik manurun, syarak mandaki” (adat menurun, syarak mendaki). Maksudnya, adat berasal dari daerah darek (Tanahdatar) sedangkan syarak dari rantau daerah pesisir pantai (Ulakan Pariaman) mendaki ke daerah darek,” kata Zulhelmi alumni Pesantren Darul Ikhlas Batangkapecong Nagari Tobohketek Kecamatan VI Enamlingkung asuhan Buya H. Zubir Tuanku Kuniang.
Tentunya pemikiran Syeikh Burhanuddin banyak dipengaruhi oleh gurunya Syeikh Abdurrauf Singkel. Syeikh Burhanuddin mengembangkan paham tarekat jalan tengah antara paham wujudiyyah dan paham syuhudiyyah dengan memusatkan perhatian pada pensucian hati untuk mencapai Allah secara langsung tanpa hijab dan dengan memahami hakekat ibadah sebenarnya. Inilah paham yang dipertahankan dalam pemikiran tasawuf tarekat Syathariyah yang dikembangkan Syeikh Burhanuddin. Maka penganut paham tarekat Syathariyah inilah yang melakukan ziarah Basapa ke makam Syeikh Burhanuddin di Ulakan Padangpariaman setiap bulan Syafar. (Bagindo Armaidi Tanjung)