Perbankan syariah yang ada di Indonesia saat ini belum islami dan baru berada pada tataran kontrak (akad) saja. Sehingga sebutan yang lebih layak adalah Islamic Banking (bank Islam), bukan Bank Syariah.
Demikian dinyatakan Anggota Komite Ahli Bank Indonesia, Muhammad Syafii Antonio, dalam acara Asia Pacific Conference (Apconex), di Jakarta Convention Center (JCC), Kawasan Senayan Jakarta, Kamis (14/5).<>
Menurut Syafi’i, perbankan syariah yang ada saat ini belum bersifat syar’i, melainkan baru mengarah ke nilai-nilai Islam seperti seragam jilbab untuk karyawan dan penggunaan istilah-istilah Islam, namun tidak pada budaya perusahaan.
“Ciri yang menentukan sebuah bank itu syariah atau bukan, adalah komitmennya pada usaha kecil dan mikro. Dari keberpihakan pada usaha kecil akan terlihat apakah sebuah bank itu syariah, hanya mengejar profit atau memiliki agenda yang lebih besar,” kata anggota dewan syariah Bank Sentral Malaysia ini.
Lebih lanjut Syafi’i juga seorang pakar perbankan syariah Indonesia ini, mengingatkan, banyak pihak menjadi eksis dan memperoleh keuntungan karena membela kepentingan orang-orang kecil.
"Sebagian orang berpendapat membiayai usaha kecil terlau mahal. Padahal, Grameen Bank (di Bangladesh) telah membuktikan bahwa yang kecil itu menguntungkan," terang Syafi’i.
Karenanya, Syafi’i tetap optimis bahwa di saat sistem ekonomi kapitalis, dan sosialis mati, yang akan bertahan hanyalah ekonomi Islam. "Apakah kita akan berpangku tangan saja atau kita mencapai upaya yang lebih konkret dan menjadi solusi bagi dunia?" katanya dengan nada bertanya.
Belakangan ini, perbankan syariah berkembang luar biasa di mana jumlah dana yang dikelolanya mencapai 700 miliar dolar US atau tumbuh rata-rata 15 persen, sedangkan jumlahnya di seluruh dunia ada 396 unit yang tersebar di 53 negara. (ant)