Jakarta, NU Online
Besarnya alokasi pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri dalam APBN pada tahun mendatang telah menjadikan janji-janji para Capres untuk meningkatkan alokasi anggaran sektor-sektor publik menjadi tidak realistis.
“Boleh saja para calon presiden dan wakil presiden menjanjikan peningkatan persentase anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dan pengusaha kecil secara maksimal. Tetapi bagaimana pun para Capres harus melihat bahwa beban pengeluaran APBN sekarang dan dua tahun akan datang terlampau berat,” kata Pengamat Ekonomi dan Keuangan dari Persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (Perbanas) Aviliani kepada NU Online, Kamis (17/6).
<>Menurut Aviliani, beratnya beban APBN itu terkait besarnya jumlah pembayaran hutang untuk dalam dan luar negeri. Saat ini, kata Aviliani, jika dibandingkan dengan hutang baru yang diperoleh dengan total alokasi pembayaran hutang dalam satu tahun anggaran, masih lebih besar alokasi untuk pembayaran hutang.
“Apalagi kita melihat sebagian besar pos pengeluaran rutin tidak mungkin untuk dipangkas,” kata pengamat ekonomi yang juga tergabung dalam Forum Indonesia Bangkit ini.
“Memang ada dua pilihan bagi presiden terpilih untuk mewujudkannya, dengan menaikkan pajak dan meningkatkan jumlah pinjaman luar negeri,” kata Aviliani mengimbuhkan. Namun kedua cara ini dinilai Aviliani dapat memperburuk iklim investasi dan beban pembayaran yang terlampau besar bagi pemerintahan yang akan datang.
“Jika janji para Capres itu diwujudkan dengan memperbesar jumlah pinjaman, bukan hanya pemerintahan berikutnya yang akan menanggung beban pembayaran yang besar. Rakyat juga akan merasakan beban penderitaannya,”ungkap Aviliani.
Meskipun Aviliani menilai janji-janji para Capres tersebut tidak realistis. Dia masih melihat adanya jalan lain bagi para Capres untuk mewujudkannya. “Persoalannya, jalannya penuh resiko,”katanya.
Jalan yang dimaksud Aviliani adalah dengan mereformasi birokrasi. “Kalau para Capres berani mereformasi birokrasi, kemungkinan besar korupsi bisa dikurangi. Karena berdasarkan data Pak Kwik Kian Gie, jumlah anggaran yang dikorupsi relatif besar sekitar Rp 200 triliun. Karena itu dengan mereformasinya, sangat besar anggaran yang bisa diselamatkan untuk dialokasikan secara maksimal ke dalam belanja sektor publik,”kata Aviliani.
“Memang cara ini sangat beresiko, tetapi realistis untuk mewujudkan janji-janji para Capres itu,” tambahnya.
“Permasalahannya sampai sekarang belum ada satupun Capres yang menjanjikan itu,”tandasnya. Ketidakberanian ini kemungkinan terkait dengan besarnya resiko yang akan dihadapi para Capres bila menjadi presiden.
“Dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pegawai negeri dari departemen tertentu. Presiden terpilih bukan hanya akan menghadapi gelombang demo besar-besaran tetapi dia juga harus mencari sumber-sumber dana untuk membayar pesangon dan pensiun para PNS,”kata pengamat ekonomi yang juga aktif mengajar di jurusan manajemen sebuah universitas di Jakarta ini.(Dul)