Pengurus Pusat (PP) Gerakan Pemuda Ansor mendukung rekomendasi PBNU yang mendesak pemerintah agar menghapus Pemilu Kepala Daerah Langsung, baik pemilihan di tingkat Gubernur maupun Bupati atau Wali Kota.
“Kami sangat mendukung upaya PBNU menghapus pemilu gubernur dan Bupati atau Wali Kota Langsung,” ujar Ketua PP GP Ansor Khotibul Umam Wiranu di sela rapat konsolidasi Pengurus Wilayah GP Ansor untuk eks Karesidanan Pekalongan di Pantai Widuri Pemalang, Selasa (12/5).<>
Menurutnya, Pemilu Kepala Daerah Langsung sangat tidak efektif terutama dalam penganggaran. Dalam Pemilu langsung tersebut, uang Negara yang digelontorkan untuk perhelatan tersebut mencapai 6 sampai 7 miliar per Kabupaten/Kota. Padahal jumlah Kabupaten dan Kota se Indonesia mencapai 497. Sedangkan jumlah provinsi ada 33. Sungguh jumlah “Ini berarti mengurangi dana jatah rakyat untuk kesejahteraan,” tuturnya.
Belum lagi ongkos yang dikeluarkan para calon. Setiap calon akan mengeluarkan ongkos skitar 10 sampai 15 miliar. Ongkos tersebut, tidak mugkin akan bisa tertutup selama masa jabatannya yang 5 tahun itu. “Bila di asumsikan gaji Bupati sebesar 8 juta perbulan ditambah penghasilan lainnya sampai 30 juta maka selama 5 hanya terkumpul 1,8 miliar saja,” paparnya.
Makanya, Bupati atau wali kota terpilih cenderung akan korup selama memegang tapuk kepemimpinannya.
Akan sangat efektif, lanjutnya, bila pemilihan Gubernur atau Bupati dan Wali Kota di kembalikan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). “Toh DPRD sudah dipilih rakyat secara langsung,” ungkitnya.
Khotibul Umam Wiranu yang juga anggota Komisi II DPR RI itu lebih jauh menjelaskan, kalau Gubernur itu kepanjangan tangan pemerintahan pusat. “Jadi mengapa harus dipilih oleh rakyat secara langsung?” gugatnya.
Dia memandang kalau pemilihan umum langsung itu, payung hukumnya demokrasi liberal. Bukan demokrasi pancasila lagi. Karena yang terpilih dapat dipastikan yang punya uang banyak. Sementara Integritas, kapabilitas, kualitas dan kapasitasnya sebagai pemimpin rakyat masih dipertanyakan. “Bukti dari itu, jabatan Bupati atau Wali Kota cuma dijadikan ajang bisnis, yang penting untung meski rakyat harus bunting,” kritiknya.
Hal lain yang perlu kita pertimbangkan adalah timbulnya konflik social akibat beda pilihan pada pilkada langsung itu. Eksesnya, berimbas pada organisasi kemasyarakatan seperti Ansor. “Mau tidak mau, sebagai aktivis organisasi pasti kader Ansor dimintai bantuan untuk menjadi tim sukses. Otomatis, akan terjadi gejolak ditubuh orgnisasi. Dan untuk pembenahannya dibutuhkan waktu yang cukup lama,” ujarnya.
Tidak ada jalan lain, Ansor sepakat dengan Keputusan Muktamar ke-32 NU di Makassar yang menghendaki dihapuskannya pemilihan langsung Gubernur ataupun Bupati dan Wali Kota. (was)