Jakarta, NU Online
Mungkin belum banyak orang mengetahui siapa sosok Mirza Ghulam Ahmad, tokoh yang dikultuskan sebagai Nabi oleh jama'ah Ahmadiyah. Sosok dan pemikirannya yang akhir-akhir ini ramai dibincangkan, karena mengundang kontroversi tidak saja di Indonesia, tapi juga di negara lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Arab saudi bahkan di Pakistan sudah ada UU yang melarangnya.
Mirza Ghulam Ahmad seperti dituturkan oleh mantan mubaligh Jamaah Ahmadiyah, H. Ahmad Hariadi dalam Halaqoh Nasional Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dengan tema Mencari Solusi Problem Ahmadiyah beberapa waktu lalu, digambarkan sosok yang pandai, banyak hapalan Al-Quran, namun kemudian dia lupa diri dan mengaku nabi, karena terinspirasi hadits-hadits Mahdi dan Isa.
<>"Pernah dia mengikuti konferensi agama-agama se dunia untuk menunjukan kehebatan dari agama masing-masing. Dia mewakili konferensi itu dan diakui, dialah yang paling hebat menunjukan keindahan dan keagungan dari agama Islam. Setelah di puji, dia lupa diri dan berdakwah sebagai nabi rasul, Isa, dan imam Mahdi," ungkap Ahmad Hariadi.
Dijelaskan mantan Mubaligh yang puluhan tahun menjadi juru dakwah Ahmadiyah, karena kepintaran dan ketokohan Mirza ini kemudian dijadikan salah satu instrumen penjajah dalam rangka mengendorkan semangat perlawanan bangsa India muslim dalam mengusir penjajah.
"Maka diantara doktrin utama saat itu adalah menafikan perintah jihad. Juga mendoktrinkan bahwa tuhan itu adalah orang Inggris dan berfirman dalam bahasa Inggris," tuturnya di hadapan puluhan aktifis ormas dan peserta Halaqoh.
Mirza yang lahir pada tahun 1839 di India, tepatnya di kampung Qodian, wilayah Punjab lalu dengan diback-up oleh beragam fasilitas penjajah, ajakan sesat Mirza ini dianggap efektif untuk meredam jihad. Sehingga pada periode berikutnya, Mirza semakin membabi buta dalam rangka mengobrak-abrik isi aqidah Islam. Maka dari hanya sekedar meredam jihad, paham sesat Mirza ini berkembang sampai dia mengatakan bahwa dirinya adalah nabi, bahkan nabi yang paling besar.
Malah, ketika perlawanan terhadap paham Mirza Gulam mendapat tekanan dari para penentangnya di India, dan kaum imprealis semakin terdesak, Mirza mengeluarkan hujjah dalam bukunya yang membela kaum imprealis. "Wawajaba alaihim syukruhum bil qolbi...., wajib kamu bersyukur kepada pemerintah Inggris baik dengan hati dan lisan. seperti ditulis dalam puluhan bukunya," papar Hariadi.
Hal ini dilakukan, lanjut Hariadi yang keluar dari Ahmadiyah tahun 1985 karena pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka. Sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah Inggris. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum muslimin bergabung dan menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris.
Ditambahkan Hariadi, Mirza Ghulam terlahir dari sebuah keluarga yang agak kurang baik di mata rakyat India, bahkan dikenal sebagai keluarga pengkhinat bangsa atas penjajahan Inggris. "Latar belakang kisah berdirinya paham Ahmadiyah buatan Mirza ini memang lebih terfokus kepada proses penjajahan Inggris atas India serta tipu daya penjajah itu dalam meredam semangat jihad perlawanan atas penjajahan Inggris," katanya yang mengaku mendapatkan hidayah bisa keluar dari Ahmadiyah. (ciH)