Jakarta, NU Online
Setelah sebelumnya mengalami euphoria dengan sekularisasi dan sekularisme, kini perlu difikirkan kembali agar umat beragama kembali ke ruang publik karena problem kemanusiaan yang massif, berat, berkadar tinggi dan kezaliman yang luar biasa ada di ruang publik atau negara.
Demikian pemikiran dari Ketua PBNU Masdar F. Mas’udi dalam dialog Islam dan Negara yang diselenggarakan di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pekan lalu.
<>“Kezaliman yang dilakukan oleh orang per orang memiliki akibat terbatas, tetapi kezaliman yang dilakukan oleh negara bisa menghancurkan jutaan orang. Kalau memeras, luar biasa, kalau perorangan ngak seberapa,” katanya.
Karena itu hubungan agama dan negara harus didefinisikan dalam hubungan yang lebih positif, bukan hubungan yang negatif. “Kalau definisi negatif kan bukan sekuler dan bukan negara agama. Dan dengan definisi yang positif ini akan produktif untuk pengembangan konsep lebih lanjut,” katanya.
Dikatakannya negara sebagai lembaga publik paling sempurna di dunia saat ini tidak dipengaruhi oleh moralitas agama, padahal agama adalah sumber moralitas paling komprehensif, maka agama tak bermoral jika tak terlibat dalam ranah publik.
“Inilah mengapa timbul teologi pembebasan dikalangan Katolik, bicara soal kemiskinan, pemihakan pada yang lemah, lalu muncul civil society yang berinspirasi agama,” imbuhnya.
Sayangnya, meskipun sudah berusaha masuk dalam ranah publik, tetapi kepentingan yang diusungnya sangat sektarian dan ini dinilai Direktur P3M sebagai pola lama yang sangat berbahaya.
“Saya kira kelompok fundamentalis juga ingin mengembalikan agama ke ruang publik, tetapi pola lama, yang bisa membangkitkan perselingkuhan yang sangat berbahaya antara kekuatan agama dan negara,” katanya.
Karena itu, Ia berharap agama harus hadir, tetapi tidak untuk kepentingan komunal dan tidak formal. “Harus hadir sebagai sumber moralitas dan etika, bukan sumber hukum, apalagi hukum yang dikedepankan selalu hukum yang menyiksa, potong tangan, dan lainnya,” paparnya.
Menurutnya, inilah sesungguhnya yang bisa dirujuk adalah makoshidus syariah (tujuan-tujuan syariah), bukan tafsilinya (perinciannya), karena semuanya ijtihadi.
Dijelaskannya bahwa sejarah telah membuktikan bahwa peradaban yang bisa bertahan lama adalah beradaban yang berbasis nilai agama yang sarat nilai-nilai transenden seperti India, China, Eropa dan lainnya.
Sementara itu komunisme sebagai sebuah peradaban yang mencoba mendepak agama, hanya berumur 70 tahun, padahal dibentengi kekuatan yang luar biasa mulai dari militer, science, organisasi, intelejen dan lainnya, tapi 70 tahun sudah habis, apalagi nazisme 15 tahun tak sampai.
“Saat ini dialog yang paling seru adalah antara Islam dan Barat karena ini merupakan peradaban yang memiliki level dunia, sedangkan China dan India, bagaimanapun lokal. Kedua peradaban ini bersaing secara fisik dan keyakinan, sehingga dialognya total dan sungguhan sehingga mendapatkan sparing partner peradaban Barat ini bagus,” paparnya. (mkf)