Suara azan maghrib menggema dari pengeras suara di masjid. Laki-kaki berbalut sarung dan kepala ditutupi serban mulai beranjak ke arah datangnya suara panggilan mengerjakan rukun Islam shalat lima waktu.
Shalat berjamaah adalah salah satu rutinitas di dayah (pesantren), tidak terkecuali Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (Mudi Mesra) Samalanga Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.<>
Meski berjubah dan bercadar, para santri dayah itu tidak hanya dibekali ilmu agama tetapi juga ilmu pengetahuan lainnya yang dilengkapi sarana teknologi seperti komputer internet. Jadi, akan menjadi multi kualitas.
Dayah masa kini tidak lagi seperti dulu yang terbayang mungkin hanya bangunan barak berderet yang sederhana. Tapi di Dayah Mudi Mesra gedung bertingkat dua berdiri kokoh di tengah permukiman yang mulai padat penduduk.
Para santri juga mengenakan seragam saat menimba ilmu pengetahuan meskipun kain sarung seakan menjadi pakaian wajib di kala berada di lingkungan dayah.
Saat ini di bawah pimpinan Tgk H Hasanoel Bashry Bin H Gadeng atau akrab disapa Abu Mudi, dayah terus berkembang dan memiliki 2.100 santriwan dan 975 santriwati.
Berdiri seiring pembangunan Masjid Raya pada masa Sultan Iskandar Muda, Dayah Mudi Mesra baru menerapkan sistem pendidikan modern pada 1927, yang terintegrasi antara ilmu agama (salafiyah) dan ilmu pengetahuan umum.
Hingga saat ini, dayah Mudi Mesra masih berdiri bahkan memiliki 149 dayah yang berada di bawah naungan Al-Aziziyah tersebar di seluruh Aceh.
Selain itu, Dayah Mudi Mesra juga mengelola pendidikan umum mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Seperti TK, TPA, SD dan SMP Al-Aziziyah serta Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aziziyah.
Dayah Mudi Mesra sebagai induk dayah-dayah Al-Aziziyah yang selama ini menganut sistem kelas mulai kelas satu hingga tujuh, mulai tahun ini melakukan penyesuaian jenjang kelas.
"Setelah tamat kelas tujuh diberi ijazah Aliyah, tapi menurut kami jenjang kelas yang seperti itu tidak sesuai lagi," kata Abu Mudi.
Sistem baru yang diterapkan adalah jenjang kelas dibagi tiga tingkatan yaitu tingkat tajhizi (matrikulasi) sebagai persiapan awal, tingkat ’aliyah selama tiga tahun dan Ma’had ’Ali selama empat tahun.
Ke depan Dayah Mudi Mesra juga akan mengembangkan pendidikan Islam terpadu yang rencana pembangunannya telah dilakukan di lahan seluas 16 hektare di lokasi yang tidak jauh dari dayah semula.
Revitalisasi Dayah
Wakil Gubernur (Wagub) Aceh, Muhammad Nazar mengatakan, dayah yang ada di Aceh perlu direvitalisasi sehingga memperkuat perannya untuk ikut membangun Aceh.
Menurutnya, dayah tidak lagi bisa terpaku pada pendidikan agama, tapi juga harus mampu menguasai pendidikan dan ilmu pengetahuan lainnya sehingga bisa bersaing dengan lulusan sekolah umum.
Dia menyatakan, sejak dulu dayah memiliki peran yang cukup besar di Aceh, namun setelah penjajahan Belanda eksistensinya mulai menurun karena banyak ulama dayah yang meninggal akibat ikut berjuang.
Akibatnya, ulama Aceh kini tinggal sedikit yang kembali lagi ke dayah. Di samping itu, perhatian kepada dayah sangat minim bahkan nyaris tidak ada.
Maka saat ini Pemerintah Aceh mulai kembali memberi perhatian kepada dayah karena perannya dinilai sangat penting untuk memelihara aqidah generasi muda Aceh.
Dayah, dijelaskan Wagub, bukan merupakan barang baru bagi masyarakat Aceh karena sejak dulu sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan.
Seiring dengan perkembangan zaman dayah juga harus mampu menghasilkan alumni yang memiliki kemampuan dan pengetahuan di segala bidang.
Revitalisasi perlu dilakukan. Akreditasi dayah dan ilmu pengetahuan tanpa mengorbankan ilmu-ilmu salafi (ilmu keagamaan) sebab dayah diharapkan bukan hanya menciptakan orang-orang yang hebat dalam ibadah tapi juga mampu membawa perubahan masyarakat.
"Dayah perlu diperhatikan karena pembangunan fisik dan moral harus seimbang. Kita tidak hanya memikirkan pembangunan infrastruktur tapi juga moral," kata Nazar.
Selain itu Pemerintah Aceh juga sudah membentuk Badan Dayah serta mengalokasikan dana bantuan kepada dayah-dayah di Aceh.
Dukungan pemerintah
Pemerintah Aceh punya kewajiban memperhatikan dayah dan memberi dukungan dalam rencana pengembangan pendidikan Islam terpadu. Ini penting untuk membantu dana pembangunan termasuk mencari bantuan dari pihak lain.
Dengan pengembangan pendidikan Islam terpadu tersebut, sehingga alumni dayah dapat berpartisipasi dalam mengambil peran pembangunan terutama membangun mental masyarakat yang Islami.
Ke depan, kata Wagub Muhammad Nazar, alumni dayah diharapkan tidak hanya menguasai ilmu agama tapi juga ilmu pengetahuan lainnya sehingga dapat bersaing di tengah globalisasi.
Dia mengatakan, ada sepuluh strategi yang perlu dijalankan untuk merevitalisasi dayah guna memperkuat perannya di Aceh. Semua strategi ini dinilai dapat membawa perubahan signifikan bila dilakukan serius di masa mendatang.
"Apabila sepuluh strategi ini bisa dijalankan, saya yakin revitalisasi dayah akan terjadi sehingga alumni dayah tidak hanya menjadi khatib tapi juga mempunyai kemampuan lain," kata Wagub.
Kesepuluh strategi tersebut di antaranya, perbaikan dan penguatan manajemen cara pengelolaan dayah sehingga bisa bertahan dan semakin maju, peningkatan dan penguatan kualitas pengajar.
Penguatan peran pemerintah, masyarakat termasuk orangtua, selain penguatan regulasi dengan adanya Undang-undang No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) maka kedudukan dayah sama dengan pendidikan formal lainnya.
Penguatan jalinan kerjasama antara dayah dengan lembaga pendidikan lainnya penting dilakukan untuk memperkuat kemandirian dayah melalui usaha-usaha mandiri serta memperkuat netralitas dan independensi.
Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, menurutnya, dayah akan mampu bertahan di tengah arus globalisasi juga menghasilkan ahli agama yang berilmu pengetahuan yang multi kualitas. (ant/mad)