Syariah

Zakat, Ghanimah dan Fai’ sebagai Sumber Keuangan Publik

Rabu, 4 Desember 2019 | 18:30 WIB

Zakat, Ghanimah dan Fai’ sebagai Sumber Keuangan Publik

Ilustrasi (via ebctv.net)

Berbicara sektor perpajakan pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam berarti berbicara soal sistem pemerintahan. Mengapa? Karena di dalam sistem pemerintahan ada terselip bangunan organisasi dan manajemen. Agar roda organisasi dan sistem pemerintahan berjalan, maka dibutuhkan yang namanya anggaran pendapatan dan belanja. Itulah sebabnya kemudian muncul yang dinamakan manajemen keuangan. Manajemen keuangan yang berhubungan dengan hasrat hidup orang banyak dibawah naungan sistem pemerintahan disebut juga dengan manajemen keuangan publik. 
 
Berfokus pada manajemen keuangan publik, maka fokus pembicaraan senantiasa terpusat pada tiga fungsi dasar manajemen keuangan, yakni: (1) bagaimana cara mengalokasikan pendapatan, (2) bagaimana cara mendistribusikan pendapatan, dan (3) bagaimana cara mempertahankan perbendaharaan negara yang diperoleh dari pendapatan tersebut sehingga tercipta kas negara yang stabil. Dan apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan Islam, maka sudah pasti orientasi pembahasan mengenai keuangan publik ini selalu diawali terlebih dahulu dengan identifikasi sumber apa saja yang diperbolehkan untuk diambil secara syara’ demi keberlangsungan penyelenggaraan sebuah negara. 
 
Ada beberapa sumber keuangan publik yang dikenal dalam nash Al-Qur’an. Awalnya sumber keuangan itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berasal dari kaum Musliminin dan yang berasal dari non-Muslimin yang hidup di wilayah kekuasaan Islam. Sumber keuangan yang berasal dari Muslimin terdiri dari zakat/shadaqah. Sementara itu sumber keuangan yang berasal dari non-Muslimin didapatkan dari ghanîmah. Berangkat dari kedua sumber ini, selanjutnya berkembang berbagai macam sumber lainnya, yang merupakan turunan dari kedua sumber tersebut.  
 
Dalam sejarah perkembangannya, Abû Yûsuf mengidentifikasi bahwa sumber utama keuangan publik dalam Islam berubah menjadi 5, yaitu: (1) al-fai’ (al-kharaj dan usyur), (2) ghanimah, (3) jizyah, (4) ‘usyur, dan (5) shadaqah. Apa yang disampaikan oleh Abû Yûsuf ini adalah berangkat dan didasarkan pada banyak periwayatan hadits dan atsar. 
 
Dalil nash yang menyatakan sumber keuangan negara bisa diperoleh dari ghanimah adalah Firman Allah SWT di dalam QS. Al-Anfâl: 41.
 
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
 
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai ghanimah (rampasan perang), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak yatim, dan orang miskin serta Ibnu Sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari al-Furqân, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfâl: 41)
 
Baca juga:
Pemikiran Abu Yusuf soal Ekonomi Negara dalam Kitab Al-Kharaj
Sumber Keuangan Pajak Menurut Abu Yusuf dan Adam Smith
Sebenarnya pemikiran tentang ghanimah ini tidak lepas dari konsekuensi logis dari suatu usaha perluasan wilayah Islam di kurun abad pertama dan kedua Hijriyah. Konsekuensi ini meliputi: (1) ada wilayah yang ditundukkan dengan jalan perang, dan (2) ada juga wilayah yang ditundukkan dengan jalan damai, seperti Indonesia. 
 
Untuk wilayah yang bisa ditundukkan dengan jalan perang, ada beberapa harta yang mau tidak mau itu menjadi ada, yaitu: 
 
Pertama, adalah harta yang menjadi milik non-Muslimin dan ditinggalkan oleh pemiliknya. Harta ini kemudian disebut sebagai harta ghanîmah. Kedua, ada juga harta yang menjadi milik non-Muslimin namun tidak ditinggalkan oleh pemiliknya. Harta kelompok kedua ini pengelolaannya tetap diserahkan kepada pemilik aslinya namun dengan disertai kewajiban membayar al-kharaj (pajak bumi/pajak penghasilan). Ketiga, apabila pemiliknya beralih dan memeluk Islam, maka harta al-kharaj berubah nama menjadi al-usyur. Keduanya, baik al-kharaj maupun al-usyur adalah disatukan dalam bentuk fai’ dan dipungut dari penduduk wilayah yang menjadi hak kekuasaan pemerintahan Muslimin. Jadi pada dasarnya fai’ adalah harta yang dikeluarkan oleh baik Muslimin maupun non-Muslimin namun mereka hidup di wilayah taklukan atau wilayah kekuasaan Islam. Pemahaman selama ini sering menisbatkan bahwa fai’ adalah disamakan dengan upeti. Padahal dalam praktiknya, ia merupakan bagian dari hak dan kewajiban penduduk yang berada dalam suatu negara. Hanya saja, untuk Muslimin, ada aspek ibadah yang tetap harus dijaga oleh negara, sehingga istilah keduanya tidak bisa disatukan dalam fai’. Mari kita lihat untuk pembagian harta yang lain!
 
Pajak badan sebagai jaminan keamanan dan perlindungan terhadap non-Muslimin yang hidup di wilayah Islam dan melakukan perjanjian damai serta mau hidup bersama dengan orang Islam dikenal dengan istilah jizyah. Untuk Muslimin sendiri, jizyah ini berubah nama menjadi zakat fitrah. Lebih lanjut, simak ulasan berikut!
 
Zakat tijârah merupakan zakat dagang yang dipungut dan dibebankan kepada para pengusaha/saudagar Muslimin. Zakat ini berubah nama ketika dibebankan kepada non-Muslimin, yaitu berubah menjadi cukai, yang selanjutnya juga masuk kelompok al-usyur. Disebut al-usyur karena cara penarikannya digantungkan pada nilai proporsional berupa persen pendapatan dan modal. Al-usyur ini juga diberlakukan kepada pihak pedagang non-Muslimin lainnya yang masuk ke dalam wilayah Muslimin dan melakukan perdagangan. 
 
Lantas, bagaimana dengan silsilah pemikiran tentang ghanimah? Ghanimah memiliki arti sebagai harta rampasan perang. Harta ini diperoleh dan dikelola oleh mukmin seiring barang tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya saat terjadinya peperangan. Al-Qurthûbî dalam kitab tafsirnya mendefinisikan sebagai berikut:
 
وسمى الشرع الواصل من الكفار إلينا من الأموال باسمين : غنيمة وفيئا . فالشيء الذي يناله المسلمون من عدوهم بالسعي وإيجاف الخيل والركاب يسمى غنيمة . ولزم هذا الاسم هذا المعنى حتى صار عرفا . والفيء مأخوذ من فاء يفيء إذا رجع ، وهو كل مال دخل على المسلمين من غير حرب ولا إيجاف
 
Artinya: “Syara’ menyebut harta yang diperoleh dari orang kafir sebagai dua nama, yaitu harta ghanimah dan harta fai’. Harta yang diperoleh oleh pasukan Muslimin dari musuhnya dengan jalan perang, dan mengerahkan pasukan penunggang kuda disebut dengan ghanimah. Istilah ini terus berlaku turun temurun sehingga menjadi suatu adat/tradisi. Adapun fai’ adalah harta yang dipungut dari pemilik harta (non-Muslimin) apabila ia kembali, jadi ia merupakan harta yang didapat oleh pasukan Muslimin dengan tanpa peperangan dan mengerahkan pasukan.” (Abû Abd al-Lâh al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: Juz 7/363)
 
Pada QS. Al-Anfâl: 41 disebutkan bahwa harta ghanimah dibagi peruntukannya menjadi 5. Seperlima di antaranya adalah milik Allah SWT dan empat per lima sisanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umum termasuk tentara. Masalahnya adalah ghanimah dalam bentuk apa saja yang bisa masuk bagian dari seperlima ini? 
 
Abû Yûsuf dalam Kitab al-Kharaj menjelaskan bahwa harta atau barang yang bisa dikategorikan khumus (1/5) untuk Allah SWT ini adalah meliputi: 
 
1. Harta tambang, meliputi emas, perak, tembaga, besi, timah dan sejenisnya
2. Tanah asing yang didalamnya diletakkan tempat shadaqah
3. Apapun yang dihasilkan dari lautan
4. Rikaz (harta karun) sisa peninggalan orang kafir.  
 
Karena ghanimah sifatnya adalah berupa barang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penduduk negeri yang ditundukkan, maka untuk keperluan optimalisasi pemanfaatannya maka negara tampil dan berperan dalam melakukan pengelolaannya guna menghindari terjadinya kerusakan yang berujung penyia-nyiaan harta. Inilah silsilah awal dari pemikiran sumber keuangan publik bagi negara menurut Abû Yûsuf. 
 
Adapun empat per lima dari harta ghanimah dimasukkan dalam kas negara dan dikelola mengikuti maslahatu al-mursalah yang dilakukan oleh Khalifah Umar ibn al-Khatâb sebagaimana dulu pernah disampaikan oleh penulis dalam tulisan yang bertema penerapan maslahatu al-mursalah oleh khalifah Umar ibn Khathab. 
 
Wallâhu a’lam bish shawâb. 
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim. 
 
 
Sumber Rujukan: 
Al-Qâdlî Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm al-Kûfi, Kitab al-Kharrâj, Beirut-Libanon: Dâr al-Ma’rifah, 1979