Syariah

Hukum Transaksi Pemesanan via Aplikasi Online ala Go-food

Rabu, 17 Januari 2018 | 11:07 WIB

Hukum Transaksi Pemesanan via Aplikasi Online ala Go-food

Ilustrasi (via skift.com)

Pak Amir, salah seorang pedagang Bawean pergi ke Surabaya. Ia bermaksud ke Pasar Grosir Surabaya untuk belanja oleh-oleh. Di tengah perjalanan, saudaranya di Bawean menelepon, “Tolong nanti saya dibelikan jaket merk X, ya.”

“Ya,” jawab Pak Amir.

Saudaranya balik menjawab, “Sampeyan ada nomor rekening, biar saya transfer?”

Pak Amir menjawab, “Tidak ada, saya tidak membawa Kartu ATM.”

Saudara Pak Amir, “Kalau begitu, pakai uang kamu dulu ya? Nanti, sampai di rumah, saya akan ganti.”

Pak Amir menjawab, “Iya.”

Kasus di atas adalah gambaran sederhana dari kasus uqudul murakkabah yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan di media sosial. Kasus yang sebenarnya adalah perihal jasa layanan Go-Food, yaitu jasa yang secara resmi disediakan oleh Perusahaan Go-Jek yang menyediakan fasilitas pemesanan makanan.

Beberapa ustadz menyatakan secara tegas hukum transaksi ini haram karena di situ terdapat dua akad dalam satu transaksi. Dalam istilah haditsnya disebut shafqatain fi shafqatin, bay’ataini fi bay’atin dan biya’un wa salafun. Tampaknya, berangkat dari makna hadits biya’un wa salafun inilah sebagian ustadz itu menghukuminya. Alasan mereka adalah disebabkan ada unsur qardlu (hutang piutang) dan jual-beli yang digabung menjadi satu.

Benarkah bahwa akad tersebut adalah haram? Mari kita teliti terlebih dahulu dengan menyimak penjelasan ulama tentang bunyi tekstual hadits di atas. Salah satu hadits yang menjelaskan larangan penggabungan dua akad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Umar RA berikut ini:

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ربح ما لم يضمن ، وعن بيع ما لم يقبض ، وعن بيعتين في بيعة ، وعن شرطين في بيع وعن بيع وسلف } أخرجه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن صحيح وفي لفظ { لا يحل بيع وسلف } ولأنه اشترط عقدا في عقد فاسد كبيعتين في بيعة ، ولأنه إذا اشترط القرض زاد في الثمن لأجله فتصير الزيادة في الثمن عوضا عن القرض وربحا له وذلك ربا محرم ففسد كما لو صرح به

Artinya: “Sungguh, Nabi SAW telah melarang mengambil laba selagi tidak dijamin, jual beli selagi belum diterima, dua akad jual beli dalam satu transaksi pembelian, dua syarat dalam transaksi pembelian dan dari menggabungkan jual beli dan hutang. Hadits ditakhrij oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan kategori hasan shahih. Dalam lafal hadits yang lain disebutkan, “Tidak halal, transaksi jual beli dan memesan.” (Mengapa demikian?) Karena dalam akad seperti ini, pihak penjual seolah mensyaratkan suatu akad dalam rupa akad lain yang fasid, seolah seperti dua jual beli dalam satu transaksi. Dalam transaksi model seperti ini, adanya qardlu (hutang piutang) dapat dijadikan alasan oleh penjual untuk menaikkan harga sehingga menjadi harga baru sebagai ‘iwadl (upah) dari qardlu dan laba. Tak syak lagi, ia adalah riba yang diharamkan sehingga fasad (rusak) sebagaimana mushannif telah jelaskan,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Daru Ihyait Turats Al-‘Araby, 1985, juz IV, halaman 162).

Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Qudamah menyambung penjelasan di atas dengan lafal:

ولأنه بيع فاسد ، فلا يعود صحيحا كما لو باع درهما بدرهمين ، ثم ترك أحدهما

Artinya, “Akad tersebut adalah fasid maka tidak bisa menjadi shahih seperti jika seseorang menjual satu dirham dengan dua dirham.”

Makna dari ibarat ini pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari bunyi teks bay’atain fi bay’atin, yaitu dua transaksi jual beli dalam satu transaksi. Maksud dari penulis kitab ini adalah bukan seperti yang dimaksudkan sebagai bay’ ‘inah, yaitu transaksi jual beli yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan pembeli membeli suatu produk ke pedagang tertentu secara kredit, kemudian menjualnya kembali ke pedagang tersebut dengan harga kontan. Kendati akad bay’ ‘inah ini menurut kalangan Syafi’iyah adalah diperbolehkan dan dipandang haram oleh kalangan selain Syafi’iyah, namun makna tekstual hadits di atas sama sekali tidak merujuk ke arah keduanya. Yang dimaksud dari ibarat di atas adalah apabila barang yang dibeli belum sepenuhnya diterima oleh penjual (qabdlu), akan tetapi sudah dijual lagi kepada pihak lain. Makanya disebutkan di awal hadits lafadh bay’un wa salafun, yaitu jual beli dan memesan. Unsur qabdlu dan kepemilikan inilah pangkal utamanya sebagaimana disebutkan dalam bunyi ibarat setelahnya dari kitab yang sama.

وإذا جمع بين عقدين مختلفي القيمة بعوض واحد كالصرف وبيع ما يجوز التفرق فيه قبل القبض والبيع والنكاح أو الإجارة نحو أن يقول بعتك هذا الدينار وهذا الثوب بعشرين درهما أو بعتك هذه الدار وأجرتك الأخرى بألف . أو باعه سيفا محلى بالذهب بفضة أو زوجتك ابنتي وبعتك عبدها بألف صح العقد فيهما; لأنهما عينان يجوز أخذ العوض عن كل واحدة منهما منفردة فجاز أخذ العوض عنهما مجتمعتين كالعبدين

Artinya, “Ketika seseorang melakukan transaksi dua barang yang berbeda nilai dengan satu ‘iwadl, seperti kasus barter, jual beli barang yang bisa dilakukan secara terpisah sebelum adanya qabdlu, atau menggabungkan antara jual beli dengan nikah dan ijarah, misalnya seperti, ‘Aku jual dinar ini kepadamu ditambah baju ini sebesar 20 dirham,’ atau ‘Aku jual rumah ini kepadamu’ namun ‘(jika kamu menyewanya, maka) aku sewakan rumah ini kepadamu sebesar 1000,’ atau bila ada seorang penjual pedang yang dihias dengan emas, dijual sebesar satu perak, atau (bila seseorang berkata), ‘Aku nikahkan anakku denganmu dan aku jual hambanya kepadamu senilai 1000, maka akad seperti ini adalah sah karena keduanya merupakan dua ‘inah yang boleh diambil upah untuk masing-masing secara terpisah. Oleh karenanya, boleh menarik upah (iwadl) keduanya bersama-sama penjualan hamba,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Daru Ihyait Turats Al-Araby, 1985 M, juz IV, halaman 162).

Dengan demikian, berdasarkan ibarat di atas, penggunaan ta’bir biya’un wa salafun untuk mengharamkan kasus Pak Amir di atas, atau kasus jasa layanan Go-Food dari Go-jek tidak dapat dibenarkan. Ibarat menggunakan dalil yang bukan pada tempatnya.

Seharusnya dalil yang dipergunakan untuk menghukumi kasus di atas adalah dalil memperbolehkan memesan suatu barang yang disertai janji akan dibeli (bay’ bil wa’di lis syira’). Inipun jika terdapat unsur jual beli kembali. Namun dalam kedua kasus di atas, tidak terdapat unsur driver Go-jek dan Pak Amir menjual kembali kepada pemesan. Hal ini bisa dilihat pada model aplikasi Go-food.

Perhatikan pada prosedur Aplikasi Go-Food. Pada aplikasi tersebut, harga makanan sudah diketahui oleh pihak pemesan. Demikian juga dengan ujrah Go-Jek yang dipesan. Artinya, pihak driver Go-Jek tidak bisa mengambil harga sendiri karena pemesan sudah maklum dengan harga. Transaksi antara saat memesan dan saat membayar yang besarannya sama seperti ini disebut dengan transaksi SPOT (Lihat Fatwa DSN: 28/DSN-MUI/III/2002). Jadi, transaksi jenis ini adalah halal dan termasuk di dalamnya semua bentuk transaksi online yang memiliki model yang sama. Dengan demikian, kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut ini:

العبرة في العقود للمقاصد والمعاني، لا للألفاظ والمباني

Artinya, “Pada dasarnya ibarat dalam akad adalah dilihat berdasar maksud dan makna, dan bukan pada lafal dan bentuknya,” (Lihat Muhammad Musthafa Az-Zuhaily, Al-Qawa’idul Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fil Madzahibil Arba’ati, Darul Fikr, juz I, halaman 403).

Kaidah ini juga secara jelas disinggung dalam Kitab Syarah Yaqutun Nafis karya Sayyid Ahmad bin Umar As-Syathiri sebagai berikut:

والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ.... وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل

Artinya, “Yang dipertimbangkan dalam akad adalah maknanya dan bukan gambaran lafalnya... Dan transaksi jual beli dengan perantaraan telepon, telex, serta telegram, semua wasilah ini dan wasilah-wasilah lain sejenisnya merupakan alternatif pilihan sarana dewasa ini dan acap kali dipergunakan,” (Lihat Sayyid Ahmad bin Umar As-Syathiri, Syarah Yaqutun Nafis, juz II, halaman 22).

Pada kasus Go-Food bisa juga dimasukkan ke dalam akad ju’alah (sayembara) seumpama orang bilang, “Barang siapa bisa membelikan aku barang A di toko B, maka ia akan beri upah sebesar 10.000 rupiah.”

Lantas bagaimana status qardlu (menghutangi dulu) dari driver Go-Jek untuk cara pemesanannya? Bagaimana status harga yang diprint oleh restoran berbeda dengan harga yang diterima oleh driver, tetapi sama dengan harga yang dibayar pembeli ditambah ujrah pengantarannya?

Untuk menjawab masalah ini, kita bisa memperhatikan bahwa restoran tempat kita bisa memesan makanan lewat jasa Go-Food  adalah restoran yang sudah menjalin kerja sama dengan pihak Go-Jek. Itu artinya, driver merupakan wakil dari restoran sehingga ia berhak mendapat ujrah dari restoran setiap transaksi yang memakai jasanya ke restoran tersebut.

Adapun status qardlu (hutang) adalah diperbolehkan karena adanya janji dari pihak pemesan untuk membelinya, sebagaimana ini mafhum dalam akad bay’ bil wa’di lis syira’, yaitu akad jual beli yang disertai janji untuk membeli. Akad ini dalam perbankan syari’ah sering dipakai untuk permodalan dan akad istishna‘i yang dilakukan lewat jalur pemesanan suatu paket produk, dan pihak pemesan berjanji untuk membelinya setelah selesai produk tersebut dibuat. Wallahu a’lam. (Muhammad Syamsudin)


Terkait