Pesantren

Sukses Menjadi Akademisi, Penulis Hingga Pengusaha

Ahad, 25 Agustus 2013 | 02:01 WIB

Didikan hidup sederhana dan disiplin saat mondok dulu benar-benar dirasakan oleh Syarif Hidayatullah. Dengan jerih payahnya, saat ini Syarif mampu menekuni berbagai prosesi mulai menjadi dosen, penulis buku sampai pengusaha baju dan menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya di Jakarta.<>

Tidak mudah untuk menemui Moch. Syarif Hidayatullah saat ini. Maklum aktivitas pria kelahiran Pasuruan 29 Desember 1979 silam ini cukup padat. Lelaki yang banyak dikenal oleh kalangan santri Pasuruan dan Probolinggo ini tidak hanya bergelut dengan 1 profesi saja.

Tidak tanggung-tanggung 3 profesi ia geluti sekaligus.Selan sebagai akademisi, ia juga menjadi pengusahadan menjadi penulis aktif. Kepada NU Online, pria yang akrab disapa Syarif tersebut mengaku jika capaiannya saat ini tidak terlepas dari gemblengan dunia pesantren yang pernah rasakan.

Menurutnya, salah satu kunci suksesnya saat ini tidak terlepas dari penerapan disiplin yang dia dapat saat mondok di Pesantren Raudlatul Mustariyah di Kota Pasuruan sekitar tahun 1990-an silam.

“Dahulu waktu saya masih nyantri, saya selalu pergunakan waktu itu dengan sebaik mungkin. Khususnya untuk diisi dengan sejumlah kegiatan pendidikan baik yang ada di pesantren maupun di luar pesantren,” ungkapnya.

Diakui oleh Syarif, kehidupan di pesantren tidak jauh berbeda dengan kehidupan yang ada di masyarakat. Ia masih ingat betul saat pertama kali meninggalkan rumah untuk mondok. Ia mengaku sempat harus menyesuaikan diri dengan kondisi pesantren yang menuntutnya untuk selalu mandiri.

Saat itulah ia sadar kalau ia harus memanfaatkan tiap waktunya dengan baik. Salah memanajemen waktu, maka bakal mendapatkan hasil yang tidak maksimal. “Dan, tentunya itupun juga akan mempengaruhi kepribadian setiap santri ketika di masyarakat,” jelasnya.

Diceritakan Syarif, kedua orang tuanya lah yang sangat berjasa untuk membimbingnya mencari ilmu di pesantren. Sebab, kedua orang tuanya tergolong keras dalam bidang agama.

“Orang tua saya menyuruh saya untuk mondok secara sungguh-sungguh dan saya dilarang pulang. Bahkan meskipun sudah lebaran saya hanya diberi waktu 5 hari di rumah, setelah itu disuruh kembali ke pesantren lagi,” terangnya.

Menurut Syarif, waktu dirinya masih di pesantren, ia masih ingat nasehat ayahnya kala itu. “Kalau di pesantren, kamu makan yang banyak dan tidur yang banyak ya nak,” ucap Syarif menirukan ucapan almarhum ayahnya kala itu.

Semula Syarif sempat kaget dengan perkataan dari ayahnya itu, namun tidak lama kemudian almarhum ayahnya itu menjelaskan bahwa maksudnya yaitu kebalikannya. Yakni, sebagai seorang santri ada baiknya jangan mudah makan kalau memang kondisinya tidak lapar, begitu pula untuk tidur.

“Jangan mudah tidur kalau memang kondisinya tidak ngantuk banget. Sebab di pesantren itu tempatnya untuk menuntut ilmu dan tirakat,” tegas Syarif sambil mengenang ucapan almarhum ayahnya tersebut.

Selain itu, Syarif menjelaskan bahwa selama di pesantren ia banyak mengalami suka dan duka. Salah satunya adalah jauh dari orang tuanya, tidur hanya beralas tikar dan banyak dengan jadwal ngaji.

Selepas mondok di Pesantren Raudlatul Mustariyah, Syarifpun kemudian melanjutnya mondok di Pesantren Lasem Jawa Tengah pada tahun 1994. Di pesantren tersebut, ia harus rela merasakan kondisi pesantren yang terletak di daerah yang krisis air bersih.

Syarif pun terpaksa harus bangun sekitar jam 02.00 dini hari hanya untuk menunggu keluarnya air tersebut. “Sebab kalau saya tidak bangun tengah malam, saya tidak bisa cuci baju dan juga mandi. Karena air di pesantren saya itu kalau siang jarang keluar, kendali keluar jumlahnyapun tidak terlalu banyak,” kenangnya.

Saat bangun dini hari sambil menunggu air itu dimanfaatkan oleh Syarif dengan membaca buku dan kitab yang ada di pesantren tersebut. Saat itu menurutnya, adalah saat yang tepat untuk belajar karena suasan tengah sunyi, selain itu kondisi otak juga masih fresh.

Salah satu nasehat yang masih diingat Syarif dari kiainya saat mondok adalah pesan untuk selalu berkarya. “Janganlah kalian meninggal sebelum kalian berkarya,” ucap Syarif mengenang nasehat kiainya waktu itu.

Syarif pun selalu mengingat-ingat nasehat tersebut. Hingga akhirnya iapun terdorong untuk belajar menulis. Sehingga pada suatu ketika dirinyapun mencoba untuk mengirim sejumlah artikelnya ke sejumlah media massa cetak baik yang tingkat lokal dan nasional.

Tulisan-tulisan Syarif itu ternyata cukup bagus. Alhasil, tulisannya pun kerap muncul di sejumlah media massa. Dari situlah ia mulai kecanduan menulis karena setiap artikel yang diterbitkan di media massa tersebut dapat kompensasi.

“Hasil uang dari artikel saya yang sudah dimuat tersebut saya gunakan untuk menambah kebutuhan pendidikan saya di pesantren,” terangnya. Singkat cerita, semasa Syarif lulus dari Pesantren di Lasem tersebut, Syarif pun memiliki tekad untuk melanjutkan pendidikannya di Jakarta.

Saat dirinya menginjakkan kaki di Jakarta, Syarifpun sempat minder lantaran dirinya hanyalah anak kampung yang kesasar di ibu kota. Namun dirinya tetap merasa optimis. Itu setelah ia ingat nasehat almarhum ayahnya untuk bisa pintar mencari jalan sukses di Jakarta.

“Nak,lihat betapa banyaknya pintu gerbang tol di Jakarta ini, seandainya kamu bisa mencermatinya maka kamu akan tahu begitu banyak jalan sukses di Jakarta ini, bilamana kamu bisa cermat untuk mengambil jalan yang tepat, niscaya kamu akan sukses,” kenang Syarif kembali mengingat nasehat almarhum ayahnya.

Di Jakarta Syarif melanjutkan pendidikan S1-nya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Usai meraih gelar S-1, ia melanjutkan studi S-2 dan S-3 di Universitas Indonesia. Namun, ia juga tidak lupa menyambi mondok di Pesantren Darussunnah High Institute for Hadith Sciences.

Di Pesantren Darussunnah tersebut Syarif mulai mengembangkan dunia tulisnya dengan menterjemahkan sejumlah kitab yang pernah ia dapat waktu di pesantren Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Alhamdulillah, semasa di Jakarta saya berusaha  hidup dengan survive dari hasil menterjemahkan beberapa kitab dan menuliskan ratusan buku baik yang bertema religi maupun umum,” tegas putra pertama lima bersaudara pasangan dari KH. Madiyani Iskandar (almarhum) dan Nyai Suaibah Shihab ini.

Syarif pun patut bangga, karena dari beberapa buku yang ia tulis tersebut, ada yang sempat diterbit ulang di Malaysia. Usai sukses sebagai penulis, ia tidak melupakan kulitnya, ia mengaku ingat saat ia mondok dulu.

Dari situlah Syarif lantas mendirikan Pesantren Kreatif Alkitabah di Jakarta. Dari pesantren yang didirikan tersebut, akhirnya Syarif berhasil mencetak puluhan penulis muda yang berbakat dalam bidang kepenulisan.

Selain disibukkan untuk mengasuh pesantren, Syarif saat ini juga diberi amanah untuk menjadi  dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ), Universitas Al-Azhar Indonesia, pesantren milik Quraisy Shihab. Ia juga kerapkali menjadi pembicara baik di dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Australia, Arab Saudi dan Turki. (Syamsul Akbar/Anam)


Terkait