Pesantren

Santri Miskin Diutamakan

Selasa, 27 Agustus 2013 | 00:45 WIB

Pesantren Raudlatul Muta’allimien yang terletak di Kelurahan Wonoasih Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo merupakan salah satu pesantren salaf tertua di Kota Probolinggo. Dalam perkembangannya, pesantren yang didirikan oleh KH Marzoeqi ini terus mengalami perkembangan dan santrinya terus bertambah.<>

Hal ini tidak berlebihan, pasalnya di pesantren tersebut berdiri berbagai jenjang pendidikan di bawah naungan Yayasan Lembaga Pendidikan Raudlatul Muta’allimien. Selain itu, pesantren tersebut juga sangat mengutamakan kualitas lulusan santrinya agar bisa memberikan manfaat di tengah-tengah masyarakat.

Yang paling penting lagi, sejak didirikan tahun 1966 silam, pesantren yang kini diasuh oleh KH. Ibnu Athaillah tersebut terus berkomitmen untuk mencetak santri-santri handal yang mampu bersaing di tengah-tengah perubahan dan perkembangan zaman. Walaupun begitu, pesantren ini tetap memprioritaskan pendidikan kepada santri dari kalangan masyarakat miskin.

Hal ini sesuai dengan wasiat dari pendiri Pesantren Raudlatul Muta’allimien almarhum KH Marzoeqi, dimana pesantren ini harus lebih mementingkan pendidikan santri dari kalangan keluarga yang tidak mampu.

Pengasuh Pesantren Raudlatul Muta’allimien, KH. Ibnu Athaillah menjelaskan, hal ini dilakukan lantaran ayahandanya dulu hanya anak dari keluarga miskin sehingga saat sebelum ayahnya wafat ia mewasiatkan kepadanya agar lebih mengutamakan orang yang tidak mampu.

“Beliau dulunya memang lahir dari keluarga orang miskin, makanya beliau mewasiatkan agar pesantren ini lebih mementingkan orang miskin untuk masuk dan menuntut ilmu di yayasan yang didirikannya,” ungkapnya.

Dalam perkembangannnya, pesantern ini pernah mempunyai santri hingga empat ratusan bahkan lebih. Para santrinya tersebut berasal dari seluruh daerah di Jawa Timur. ”Santri disini berasal dari seluruih kota di Jawa Timur. Pokoknya selain Pesantren Sidogiri dan Lirboyo, masyarakat  mondok kesini,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menambahkan, saat ayahandanya jatuh sakit, sekitar tahun 1995 hingga 1998, jumlah para santrinya mulai menururun. Hal itu terjadi lantaran ia bersama kakaknya masih mondok. Selain itu beberapa saudaranya juga sibuk pada karir masing-masing. Hingga beberapa wali santri yang berada di pesantren tersebut menjemput anaknya untuk belajar di rumahnya masing-masing.

Namun saat tahun 2000-an, pesantrennya tersebut mulai bangkit dan setiap tahunnya jumlah para santrinya terus bertambah. Dalam pendidikan di pesantrennya tersebut, diberikan pelajaran seperti membaca beberapa kitab kuning, fikih, tauhid tasawwuf dan juga ilmu tajwid.

Ia berharap para santrinya untuk mengutamakan kejujuran dalam hal apapun. Selain itu, para santri yang akan lulus bisa beradaptasi dengan perubahan perkembangan dan kebutuhan zaman. Kiai Athaillah juga menambahkan meski nantinya para santri yang akan lulus tersebut membela agama, ia menitipkan agar tidak membuat kekacauan. “Karena agama Islam itu merupakan agama yang damai dan tentram,” tutupnya. (Syamsul Akbar/Anam)


Terkait