Desa Banjarsari terletak di Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Orang-orang sering menyebutnya Desa Mboto. Di desa itu, seorang pemuda berumur 30 tahunan sering disebut-sebut orang. Namanya Ahmad Suyono. Ia kerap disapa Cak Yon.
<>
Saya orang baru di desa itu sehingga belum tahu latar belakang pemuda itu. Barulah pada beberapa bulan lalu, saya berkesempatan mengunjunginya. Ia ternyata alumni pesantren Ploso Mojo Kediri asuhan KH Zainuddin Jazuli.
Cukup lama juga ia nyantri, tidak kurang 10 tahun. Sekarang di kampung halamannya mengasuh pesantren kecil terbuat dari anyaman bambu (Jawa: gedhek). Pesantren bambu kecil itu diberi nama: ‘Al-Djazuli. Pesantren itu bermula pada tahun 2006, ketika ia baru saja pulang dari pesantren.
Sepulang dari pesantren, teman-teman lama di kampungnya sering berkunjung ke rumahnya. Sebenarnya Cak Yon tak mempersoalkan kunjungan mereka, karena di pesantren sudah terbiasa dengan kehidupan kebersamaan-kesetaraan. Tapi masalahnya ia sungkan pada kedua orang tuanya, teman-temannya sering ngobrol dan bercanda sampai larut malam. Ia takut mengganggu ibunya yang sedang beristirahat.
Karena itulah, juga mungkin karena masih terbawa kebiasaan di pesantren, ia berinisiatif membuat guthekan’ dari bambu. Hanya satu kamar. Ia membangunnya di pekarangan belakang rumah. Tujuannya jika teman-temannya berkunjung sampai malam, tidak mengganggu orang tuanya.
“Saya katakan pada teman-teman saya, ‘kalian kalau di sini, mau guyon, melekan sampai malam, terserah’,” katanya menceritakan.
Namun, siapa menyangka apa yang dilakukannya ternyata menarik perhatian para tetangganya. Pada waktu mengawali pembuatannya, para tetangga sering bertanya: "Buat apa Cak Yono?" Pemuda berpostur tinggi kurus itu hanya menjawab, "Bikin kandang ayam."
Ternyata masyarakat sekitar tak percaya jawaban itu. Setelah satu guthekan jadi, mereka bahkan bilang: "Kok ndak ngomong kalau mau bikin pesantren."
Dan begitulah, meskipun sudah beberapa kali dijelaskan maksud sesungguhnya, tetanga tetap tidak percaya. Bahkan banyak diantara mereka yang malah membantu pembangunan, hingga sekarang sudah ada sekitar 3-4 guthekan. Juga satu tempat mirip aula yang juga terbuat dari bambu.
Cak Yono sendiri sempat meninggalkan rumahnya, kembali ke pesantren, dengan tujuan supaya masyarakat tidak lagi melanjutkan apa yang dikatakan mereka sebagai membangun pesantren.
“Kira-kira selama 3 (tiga bulan) sejak Muharram tahun itu saya kembali ke pesantren, biar terserah mereka mau apa, mau membangun atau apa, pokoknya saya ndak mau tanggung jawab,” kenangnya. “Tetapi, tak dinyana sekembali dari pesantren, justru pembangunannya sudah selesai,” katanya.
Tidak hanya itu, masyarakat memasrahkan anaknya untuk diajari mengaji. Dan sekarang, Cak Yon sudah memiliki sekitar 10 santri mukim dan seratusan santri yang berangkat dari rumah.
Kini sudah mulai dibuat pintu gerbang pesantren dengan tulisan ‘Ponpes. Al-Djazuli’. Nama itu diambil dari nama eyang gurunya: KH Djazuli Utsman. Gerbang itu, meskipun kecil, tapi terbuat dari baja cor, atas inisiatif masyarakat. Termasuk biaya sampai tenaga dan pengerjaannya mereka pula yang menanggung. Cak Yono sendiri tidak ambil pusing mau dibangunkan atau tidak.
Di ujung obrolan, ternyata ia Ketua Gerakan Pemuda Ansor Ranting desa itu. Ia alumni Pendidikan Kader Pemimpin Nahdlatul Ulama (PKPNU) Malang Raya angkatan pertama. Ia juga beberapa kali berdiskusi dengan saya mengenai bagaimana menggerakkan organisasi dan kaderisasi Ansor di desanya itu. (Ahmad Nur Kholis/Abdullah Alawi)
Ilustrasi: http://endibiaro.blogdetik.com/index.php/2011/10/16/sepuluh-hari-menjadi-santri/