10 Oktober 1983 silam, Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid bersama Menteri Agama Munawir Syadzili berkunjung ke Kelurahan Pancoran Mas, Kota Depok di tanah seluas 800 meter persegi. Dikelilingi ribuan masa, pejabat, ulama dan habaib, kedua tokoh ini menjadi saksi langsung berdirinya Pondok Pesantren al-Awwabin, yang kelak ribuan santrinya tersebar di berbagai pelosok Indonesia.<>
Bermula dari keserbaterbatasan di tahun 70-an, pesantren rintisan Abuya KH Abdurrahman Nawi kini tumbuh menjadi tiga unit lembaga pendidikan sekaligus dengan tiga lokasi berbeda. Tujuan mulianya terangkum dalam pernyataan “menegakkan kalimat tauhid dan menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin”.
Perjuangan Abuya—sapaan akrab KH Abdurrahman Nawi—ternyata tak sia-sia. Pesantren al-Awwabin berhasil mencetak banyak kader Nahdliyin yang sanggup terjun di beragam bidang profesi. Terkait dengan estafet keulamaan, sejumlah alumni telah mampu mendirikan majelis taklim, sekolah, bahkan pondok pesantren sendiri sebagai media dakwah.
Kepada para santrinya, Abuya selalu menasehati tentang urgensi pengutamaan akhlak dan dakwah ilmu yang bermanfaat. “Satu orang yang mendapat petunjuk dari Allah karenamu, sesungguhnya lebih baik dari dunia dan segala isinya,” demikian tuturnya.
Bagi kiai asli Betawi ini, dakwah mesti dilaksanakan dengan hati bijaksana dan ramah. Sikap ini, misalnya, tercermin pada penolakannya terhadap ekstremisme beragama, yang gemar memusuhi kelompok tak sepaham, sejak kiprahnya di dunia kepesantrenan.
Karenanya, Pesantren Al-Awwabin dan jaringannya hingga sekarang gencar menebar karakter Islam yang ramah melalui kegiatan keaswajaan. Setiap Kamis pesantren ini pun senantiasa dipadati jamaah Muslimat NU pada acara pengajian asuhan Abuya sendiri. Sebagian alumni bahkan membentuk dan aktif dalam forum “Brigade Aswaja”, sebuah wadah penyadaran dan kajian ilmiah menghadapi tantangan ekstremisme.
Seperti pesantren pada umumnya, Pesantren Al-Awwabin tumbuh dari majelis taklim sederhana di tanah pribadi pengasuh, Jl. Tebet-Barat VII Jakarta Selatan. Setelah mengembangkan sayapnya selama empat puluh tahun, sekarang Pesantren Al-Awwabin II (khusus putri) juga berdiri di bidang tanah seluas 4 hektar di Bedahan, Sawangan, Depok.
Di samping mendalami kitab-kitab salaf dan tahfid al-Qur’an, Pesantren Al-Awwabin juga membuka sekolah formal untuk jenjang Madrasah Ibtidai’iyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA), sejak awal diresmikan Menag dan Ketum PBNU tahun 1983. Mengikuti perkembangan mutakhir, pesantren ini pun mengoperasikan radio, pendidikan teknologi informasi, seni drumband, dan lain-lain.
Menurut Ustad Fathurrahman, salah satu pimpinan pesantren, unsur materi ilmu-ilmu salaf tergolong langka di pesantren-pesantren kawasan Jabodetabek. Kecenderungan untuk menerapkan kurikulum modern menjadikan sejumlah pesantren meminggirkan kitab-kitab kuning dari disiplin umum lainnya.
Di tengarai, 70 % dari pesantren di wilayah Jabodetabek telah beralih menjadi pesantren modern. Meskipun Pesantren Al-Awwabin mengadopsi model pendidikan modern, namun ia tak mau kehilangan akar tradisi keislamannya.
“Di sini beruntung masih menggalakkan kitab-kitab salaf dalam pendidikannya,” ujar Fathurrahman kepada NU Online usai wirid sembahyang Isya’ di lingkungan pesantren.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis : Mahbib Khoiron