Pesantren Miftahul Ulum terletak di Dusun Krajan Desa Jatiurip Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo. Didirikan oleh KH. Wasik Hannan tahun 1994 lalu, kini pesantren tersebut berkembang pesat dan santrinya tidak hanya berasal dari dalam tetapi juga luar Kabupaten Probolinggo.<>
Bagi Kiai Wasik Hannan, memiliki santri bukanlah tujuan utamanya. Namun akhirnya takdir membuatnya menjadi pengasuh Pesantren Miftahul Ulum hingga saat ini. Seperti apa, lika-liku perjalanan Pesantren Miftahul Ulum, ikuti penelurusan Kontributor NU Online Probolinggo, Syamsul Akbar.
Menemui Kiai Wasik Hannan sebenarnya tidaklah sulit. Sayangnya, ketika NU Online datang ke Pesantren Miftahul Ulum yang bersangkutan sedang beristirahat. Akhirnya, menunggu untuk beberapa saat.
Di tengah rasa jemu menunggu, NU Online mencoba masuk ke kantor SMAI Miftahul Ulum yang berada tidak jauh dari tempat tinggal pengasuh, tepatnya sekitar 300 meter ke arah barat. Di ruang kantor seluas 20x20 meter, NU Online ditemui Kepala SMAI Miftahul Ulum Djudjuk Warda Setiarini.
Sekitar pukul 15.00, seorang santri putri menemui Kontributor NU Online Probolinggo dan memberi tahu tentang kesediaan pengasuh untuk diwawancarai. Ditemui di ruang tamu kediamannya, Kiai Wasik Hannan bercerita dirinya tidak pernah ingin mendirikan pesantren. “Sejak dahulu saya tidak pernah bercita-cita untuk mendirikan pesantren, sebab mendirikan pesantren itu tanggung jawabnya sangat berat,” ujarnya.
Namun ketetapan hati tidak memiliki pesantren runtuh di awal tahun 1994, ketika pengasuh Pesantren Nurul Jadid Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo KH. Hasan Abdul Wafi memintanya membangun pesantren.
“Alasan beliau meminta saya mendirikan pesantren agar bisa shalat berjamaah secara istiqamah. Kalau kamu andalkan keluarga shalat berjamaah secara istiqamah tidak bisa. Sebab keluargamu suatu saat bisa terkena udzur. Sedangkan kalau punya santri, kamu bisa ajak mereka selalu berjamaah,” ungkapnya menirukan anjuran Kiai Hasan Abdul Wafi.
Diakui Kiai Wasik, meski pengasuh Pesantren Nurul Jadid memintanya untuk mendirikan pesantren, dalam hati kecilnya dirinya sempat ragu. “Mendirikan pesantren tidak mudah. Karena butuh kepercayaan tinggi dari masyarakat serta istiqamah memperjuangkan agama Allah,” jelasnya.
Keraguannya buyar ketika akhir tahun 1994, tiga orang santri putri dari Desa Kaliacar Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo sekitar pukul 10.00 meminta dirinya menerima mereka sebagai santri. “Saya tidak bisa menolak permintaan mereka karena perintah KH. Hasan Abdul Wafi mendirikan pesantren,” tegasnya.
Kiai Wasik mengaku, tiga santri yang baru datang itu ia tempatkan di serambi dalam ruangan rumahnya. “Rumah saya waktu itu ada dua kamar. Kamar pertama saya pakai sendiri dengan istri dan yang satunya dipakai mertua,” akunya.
Diakui Kiai Wasik, ketiga santrinya menerima dengan ikhlas. “Ketiga santri putri saya memiliki semangat tinggi meski mereka harus tinggal di serambi dalam rumah saya,” terangnya.
Belum genap sebulan mengajari ketiga santri putrinya, santri lain mulai berdatangan. “Santri baru putra dan putri mulai banyak berdatangan,” tuturnya.
Menurut Kiai Wasik, santri yang datang dalam waktu sebulan sekitar 10 santri. Enam santri putri dan empat santri putra. Karena tidak ada tempat bagi santri putra, Kiai Wasik kemudian memutuskan membangun tempat sederhana bagi santri putra. “Saya dirikan pondok bambu bagi santri putra,” kenangnya.
Selang beberapa bulan kemudian minat penimba ilmu ditempatnya makin banyak. Dan mau tidak mau membuat Kiai Wasik kembali mendirikan pondok bambu baik bagi santri putra maupun santri putri. “Alhamdulillah, sejak itu perkembangan santri cukup pesat,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Red:Anam)