Opini

Vox Populi, Vox Argentum?

Senin, 2 April 2012 | 07:06 WIB

Oleh: Alfanny

Seharusnya judul makalah ini adalah Vox Populi, Vox Dei, Suara Rakyat Suara Tuhan. Tapi, perkembangan demokrasi kita pasca reformasi ini menyebabkan saya harus mengganti judulnya dengan frase ”Vox Populi, Vox Argentum”, Suara Rakyat Suara Emas (uang), dengan tanda tanya di belakangnya.  


Boleh dibilang, problem money politics adalah big problem dan big issues bagi demokrasi Indonesia pasca reformasi.  Rakyat yang seharusnya berdaulat dalam menentukan aspirasinya kini seakan tak berdaya menghadapi para pemodal besar dan bandar-bandar politik yang menentukan kandidat mana yang akan menang dalam setiap pemilu, pilkada dan juga kongres partai, termasuk partai yang berteriak di televisi pada kampanye 2009, “Katakan Tidak Pada Korupsi!”
<>
Kesaksian Mindo Rosa Manullang, mantan staf  Nazarudin mengungkapkan adanya aliran dana milyaran ke Kongres Partai Demokrat yang memilih Anas Urbaningrum.  Sang Ketua Umum pun membantah, “tidak satu rupiah pun saya keluarkan untuk money politics!”, tandas Anas. You’re right guys! Uang yang dikeluarkan memang bukan dalam rupiah, tapi dalam US dollar!

Bahkan, bukan hanya ajang pemilu, pilkada dan kongres partai yang notabene memilih pemimpin “sekuler” yang berbau aroma busuk money politics, arena pemilihan pemimpin ormas keagamaan pun tidak luput dari money politics. Para pemuka agama, para ketua cabang ormas keagamaan yang harusnya steril dari money politics pun menaruh Tuhan di sakunya masing-masing ketika memutuskan pilihan berdasarkan uang, baik atas nama uang transport, uang saku atau apapun sebutannya.

Money politics untuk membeli suara pemilih pun menjadi tahap awal dari lingkaran setan korupsi yang terus menenerus mengalami siklus. Para kandidat yang terpilih pun harus segera membayar hutang-hutangnya baik hutang materiil maupun hutang budi kepada para Bandar yang memodalinya. Dengan cara apa? Ya, Korupsi! APBN, APBD dan kas BUMN pun menjadi bancakan diantara para politisi. Almarhum Begawan Ekonomi Indonesia, Prof Soemitro Djojohadikusumo di era Orde Baru pernah menyatakan bahwa APBN dikorup hingga 30%!

Dengan struktur APBN yang hampir setengahnya habis untuk belanja rutin seperti gaji pegawai dan lain-lain, kemudian 20%-30% untuk membayar cicilan utang pemerintah, maka belanja modal untuk pembangunan, untuk membangun infrastruktur, untuk menyejahterakan rakyat pun hanya tersisa sekitar maksimal 30%, itupun penyerapannya tidak maksimal. Pada 2011, realisasi belanja pemerintah pusat per 1 Desember 2011 mencapai 74,5 persen atau Rp 676,7 triliun dari pagu sebesar Rp908,2 triliun. Sedangkan realisasi belanja kementerian lembaga baru mencapai 66,3 persen atau Rp305,9 triliun dari pagu sebesar Rp461,5 triliun yang terdiri atas belanja pegawai mencapai 91,1 persen atau Rp166,7 triliun dari pagu Rp182,9 triliun, belanja barang 63 persen atau Rp90 triliun dari pagu Rp142,8 triliun dan belanja modal mencapai 51,3 persen atau Rp72,3 triliun dari pagu Rp141 triliun. (www.ditjen-otda.depdagri.go.id, 18 Januari 2012).

Korupsi pun terjadi bukan hanya karena motif memperkaya diri, tapi karena dalih membiayai operasional partai yang semakin membengkak, karena partai dan politisi harus menghadapi permintaan permohonan dana dari konstituen setiap hari, mulai dari pengajian majelis taklim sampai mengaspal jalan. “Rakyat menganggap kita kontraktor”, keluh seorang caleg pada Pemilu 2009 yang dimintai konstituennya untuk mengaspal jalan bila ingin dipilih dalam pemilu.

Jadilah Well-Educated & Well-Organized Voters

Jelaslah sudah, untuk memutus mata rantai korupsi, maka kita harus memulainya dengan menghentikan praktek money politics. Untuk itu, aktor utamanya adalah para pemilih (voters) yang menentukan hitam-putihnya warna politisi. Bila para pemilih lebih mengutamakan gaya transaksional dalam menentukan keputusan memilih pemimpinnya, maka bisa dipastikan para pemimpin yang terpilih juga akan menerapkan gaya kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang mengutamakan cost-benefit dalam menjalin pola hubungan dengan masyarakat. Para pemimpin transaksional akan berusaha mengejar margin keuntungan sebesar-besarnya demi menutupi modal yang telah dia keluarkan, dan cara satu-satunya adalah korupsi!   

Para pemilih –terutama pemilih muda/pemula yang well-educated- harus mulai merubah perilakunya dalam memilih, yaitu dengan menerapkan gaya transformasional dalam memilih pemimpin.  Para pemimpin yang terpilih tentunya adalah pemimpin bertipe transformational leadership, yaitu pemimpin yang memimpin dengan visi-misi yang jelas dan berusaha meraih kepercayaan (trust) dari para konstituennya dengan cara melaksanakan apa yang sudah dia katakan, bukan hanya mengatakan apa yang sudah dia laksanakan apalagi hanya sekedar mengatakan apa yang akan dia laksanakan, seperti para pemimpin kita sekarang ini.

Para pemilih juga harus memperkaya pengetahuan dan wawasannya mengenai track record para politisi, program yang ditawarkan sejumlah partai maupun kebijakan pembangunan dari partai yang memerintah maupun gagasan alternatif yang ditawarkan partai oposisi.  Dengan menjadi pemilih yang well-educated, para pemilih akan mempunyai informasi yang cukup memadai terutama dalam mengambil keputusan untuk memilih kandidat tertentu, bukan hanya memilih karena alasan-alasan transaksional. 

Para pemilih juga harus mengorganisir dirinya dalam berbagai elemen civil society untuk melakukan fungsi kontrol dan penekan terhadap political society di DPR dan pemerintah.  Para pemilih yang well-organized akan mampu secara sistematis mendesakkan aspirasinya kepada para pemangku kebijakan.

Kepercayaan, penghargaan dan solidaritas adalah tiga kata yang ghaib dari kosakata demokrasi kita sekarang ini. Para politisi kini tidak lagi mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Para politisi kita juga tidak dihargai oleh rakyatnya dan sebaliknya para politisi juga tidak punya sense of solidarity terhadap amanat penderitaan rakyat, memakai Bentley di tengah rakyat yang hanya berpenghasilan 2 dollar per hari, ataupun menghabiskan APBN hanya untuk membangun toilet dan ruang rapat super mewah plus kursi impor yang dimark-up belasan kali lipat dari harga aslinya. Kini, saatnya para pemilih –terutama pemilih pemula yang well educated & well-organized seperti mahasiswa-harus mengambil sikap berkata TIDAK terhadap money politics. Dengan demikian, Vox Populi, Vox Dei-lah yang menjadi judul makalah ini. Wallahu a’lam.


* Penulis adalah Ketua Forum Alumni PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Universitas Indonesia, 2012-2015. Menyelesaikan S-1 di Ilmu Sejarah UI dan sedang menempuh Magister Sains Psikologi Industri & Organisasi di UI


Terkait