Opini

Universitas NU dan Masa Depannya (4)

Jumat, 30 Oktober 2015 | 19:04 WIB

Oleh Mh Nurul Huda
There are many alternatives” (TAMA), ada banyak alternatif. Slogan ini barangkali relevan bagi kita yang “melihat” aneka alternatif kemungkinan di masa depan. Kecuali bila penulis sendiri diam-diam terperangkap-betapapun ditepisnya ia dalam ucapan dan dipuaskannya ia hidup dalam kesinisan-membeku dalam suatu mitologi bahwa hanya ada satu jalan tunggal sejarah (the end of history) yang bernama apa saja dalam bendera “there is no alternative” (TINA).

Mulai dari sini rupanya, dalam perjalanannya, kita dapat menemukan keselarasan pandangan atau titik temu (fusion of horizons) dengan mereka, saudara-saudara kita, yang berharap alternatif dunia masa depan yang lebih baik. Keselarasan itu diupayakan sedemikian rupa sehingga bila terdapat perbedaan cara, maka segera diinsyafi hanyalah konsekuensi belaka dari pengakuan terhadap aneka jalan kemungkinan alternatif. Bersamaan dengannya juga telah disadari bahwa ada alternatif masa depan yang paling kita inginkan (preferable) di antara sekian alternatif yang mungkin.

Dalam konteks inilah kiranya khalayak umum lalu dapat mengerti bahwa: seutuhnya masuk akal dalam nalar, bisa diterima secara moral, dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial kalau alternatif itu datang dari tradisi pesantren.

Tradisi yang dimaksud sudah barang tentu bukan yang dibayangkan statis, mandeg, apalagi beroposisi dengan rasio seperti dalam gambaran rasionalisme positivis/empiris yang dibawa tradisi Pencerahan Eropa yang menjadi ranjang kenikmatan di pucuk tower intelektual bagi tesis sekularisasi yang sudah out of date. Karena sebagaimana terekam sejarah, para ulama, kiai dan santri sendiri pun terbukti merupakan para “pelaku agentik” (bearers of that tradition) yang dalam cakrawala rasio memelihara, menafsirkan dan “menggerakkan tradisi” secara berkesinambungan.

Mari bersama-sama membaca kembali esai-esai Kiai Abdurrahman Wahid berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah [1997]. Bila kita selidiki secara seksama-dipandu oleh kejelian kata pengantarnya budayawan kita DR Muhammad Sobary yang secara eksplisit memandang aneh pemberian judul itu karena “tak sepotong pun penjelasan diberikan”-di sana memperlihatkan tiadanya antinomi atau oposisi antara tradisi dan rasio dalam gerakan.

Tradisi pesantren terus hidup hingga kini. Sebagai a living tradition, spirit luhurnya masih bergairah, kalau bukan malahan semakin bergairah, di tengah-tengah masyarakat kebanyakan. Oleh sebab itu, berdasarkan perhitungan yang masuk akal, kita dapat menyatakan bahwa “roh”-nya mampu menghidupkan tubuh universitas-universitas. Sedemikian rupa ia, sehingga universitas terkoneksi kembali dengan kebutuhan sebenarnya masyarakat kebanyakan.

Adalah juga preferable (yang lebih baik dan kita inginkan) bagi universitas NU di masa depan untuk mampu berkompetisi (fastabiqul khoirot) dalam kerangka “ko-operasi”(ta’awun). “Takdir sejarah”-nya menjadi bagian dari usaha pencapaian kesejahteraan dan kemajuan bersama masyarakat dari mana universitas itu sendiri berasal, tumbuh, berkembang, dan memimpin untuk kemajuan bangsa. Unggul dalam keilmuan, tangguh dalam karakter/mentalitas, dan populis dalam komitmen sosial sebagai suatu komunitas epistemik.

Di sini sudah barang tentu kita tidak dapat mengabaikan begitu saja kemungkinan-kemungkinan lain di masa depan (probable/possible futures). Yaitu suatu masa depan yang turut dibentuk oleh gejala-gejala masa kini yang terus menerus kian menerima penilaian kritis nan tajam dari para ahli.

Gejala itu dapat dinyatakan secara singkat sebagai pendidikan yang hanya mencetak individu-individu kompetitif mengejar kepentingan-kepentingannya sendiri sampai ke ujung surga. Terperangkap dalam alam pikiran darwinisme sosial, pembelajaran berlangsung begitu mekanistik dan behavioristik; kompetisi individual dalam pasar bebasnya para raksasa kapitalis menjadi satu-satunya tujuan utama. Hal ini sejenis pendidikan yang melupakan arti pentingnya “ko-operasi” (ta’awun) dan mengabaikan kerja sama organik dan publik (mashlahah ‘ammah, summum bonum), yang dapat berakibat mengerikan di masa depan.

Bagaimana mungkin masyarakat kebanyakan bisa bangkit membangun surga di bumi, baldatun thoyyibatul wa robbun ghofur (negeri yang baik dan dilimpahi kasih sayang), tanpa adanya suatu keselarasan pandangan dan “ko-operasi”? (bersambung...)


* M Nurul Huda, aktivis 1926, dosen Program Studi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta


Terkait