Opini

Universitas NU dan Masa Depannya (2)

Jumat, 16 Oktober 2015 | 00:01 WIB

Oleh Mh Nurul Huda
--Kini, tren pendidikan sedang menuju ke arah model integral antara pendidikan sains dan teknologi plus pendidikan spiritual, moral dan etika. Ada pesantren dan seminari (pesantrennya Kristen) lengkap dengan madrasah dan perguruan tingginya.<>

Indonesia sama sekali bukan suatu kekecualian. Di India ada “Ananda Marga” yang dikenal populer dengan meditasi yoga-nya. Neohumanisme-nya Prabhat Ranjan Sarkaratau yang dipanggil Shrii Shrii Ananda Murti oleh pengikutnya membentuk suatu komunitas epistemik yang luas pengaruhnya. 

Itu artinya skema modernisme, seperti yang disinggung sebelum-sebelumnya, tidak seutuhnya jalan. Begitu pula skema pasangannyayakni sekularisme. Ia kian dianggap kurang memenuhi atau hanya secara parsialsaja memenuhi kebutuhan hakiki manusia dan alam semesta.

Kata “skema” (modernisme, sekularisme) yang dimaksud di sini adalah pola yang terjadi di universitas-universitas Barat yang hendak dijadikan model sempurna untuk lembaga pendidikan di semua tempat. Padahal sebetulnya ia adalah produk “conceptual construct”, suatu ideal-type, yang menggolongkan realitas kompleks nan kaya ke dalam dua buah kutub dari satu garis kontinuum yang saling berlawanan. Dalam dirinya ia problematik, meskipun kenyataannya berlaku karena dimungkinkan oleh adanya komunitas epistemik berikut infrastruktur pendukungnya.

Umpamanya boleh-boleh saja penulis bilang “manusia adalah rasionya”, dan bekerja dalam skema menurut citra diri manusia (image of man) macam itu. Tetapi secara bersamaan penulis telah membodohi diri sendiri bahwa manusia menyangkut fisiknya (jism), psikisnya (nafs), rasionya(‘aql), hatinya (qalb), spiritualnya (ruh) yang semua itu dapat diketahui dan diolah lewat pengenalan terhadap diri dan kehidupan, lewat agama atau kearifan dan tradisi-tradisi agung (greattradition) masyarakat. Ahli pedagogi akan mengatakan skema pendidikan pada akhirnya akan ditentukan oleh asumsi-asumsi mengenai citra diri manusia yang mendasarinya dan konteks kebutuhan yang melingkupinya. 

Sekarang ini sebuah momen menarik bagi kita semua. Universitas NU hadir dan dinyatakan merupakan trans-formasi spirit pesantren ke dalam tubuh universitas. Jika hal ini benar maka berarti suatu skema alternatif umum sedang dijalankan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan modernisme dan sekularisme. Skema yang muncul dari kebutuhan akan konvergensi antara sains dan moral dalam pedagogi kontemporer.

Di Indonesia, pesantren memang sudah lama dipandang sebagai mata air ilmu dan kearifan, bahkan dianggap salah satu tradisi agung (greattradition) masyarakat. Setidaknya dinyatakan demikian oleh Prof Martin van Bruinessen (1995), salah satu sarjana yang selama ini tekun meneliti pesantren. Mungkin saja pernyataan ini ada yang menyangkal, dianggap eksagerasi (berlebih-lebihan) oleh satu-dua orang dari segolongan kecil komunitas epistemik yang lain. Namun penyangkalan itu tidak menghapus kenyataan dipeganginya spirit dan nilai-nilai agungnya oleh komunitas pesantren sendiri dan diakui demikian peranan pentingnya dalam sejarah pendidikan nasional dan dalam kehidupan secara umum oleh masyarakat luas hingga kini.

Sejak sebelum kemerdekaan, tokoh nasionalis Indonesia Dr. Sutomo lewat artikelnya “Nationaal-onderwijs-congres” dalam rangka polemiknya dengan Sutan Takdir Alisyahbana sang“pelopor pembaratan”, demikian tulis van Bruinessen, sudah memuji pesantren sebagai lembaga pendidikan dasar pribumi yang mandiri. Pesantren menanamkan semangat kooperasi, kerjasama, kepada para santri. Dan kepada mereka semua, pesantren memperlakukan sama tanpa memandang latar belakang kelas sosialnya (van Bruinessen, 1994). 

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, tokoh pendidikan kita sebagaimana diketahui, menggunakan sistem among dalam perguruan Taman Siswa yang didirikannya. Pendidikan pesantren dan lalu perjumpaan pemikirannya dengan Maria Montessori, John Dewey serta persahabatannya dengan tokoh pendidikan India Rabindranath Tagore,memberi inspirasi untuk membangun perguruan yang setara paradigmanya. Paguron dan pesantren dijadikannya model khas pendidikan pribumi. Gelar ningratnya pun ia tanggalkan, lalu berganti nama Ki Hajar Dewantara.

Tidak perlulah rasanya penulis memaparkan lebih jauh kesaksian-kesaksian tertulis dari para cendekiawan dan intelektual pesantren sendiri, ataupun kajian-kajian terbaru historiografi pesantren atau karya-karya sastra dari tradisi agung pesantren. Mengingat semua itu sudah sewajarnya menjadi diantara bacaan wajib para pembelajar, sebagaimana halnya bacaan wajid dari karya-karya lainnya. 

Bukan maksud penulis disini untuk menimang-nimang kisah masa lalu. Tapi sungguh-sungguh apa jadinya kita semua pada masa kini, jika tanpa wawasan dan belajar dari masa lalu. Karena itu kita patut berterima kasih kepada para sejarahwan yang telah menulis kembali masa lalu dan menemukan kembali relevansi dan signifikansinya bagi kita, kini dan di masa depan.

Bagaimanapun juga, masa lalu sebetulnya bukanlah entitas yang terpisah dari masa depan. Keduanya juga bagian yang tak terpisahkan dari masa kini. Dipandang secara eksistensial, masa lalu adalah masa kini yang sudah berjalan (having-been present) dan masa depan adalah masa kini yang akan terjadi (will-be present).

Akhirnya, perkenankan penulis mengutip dari artikel Dr Sutomo dalam Polemik Kebudayaan. “Di dalam kemajuan apa pun juga, di dalam ilmu mana pun kemajuan baru tercapai, dapat berjalan terus, dapat ‘melihat ke depan’ dengan selamat dan bahagia, kalau lebih dulu menengok ke belakang”. (bersambung)


Mh Nurul Huda, pekerja budaya, dosen Program Studi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta.


Terkait