Oleh: Tirmidzi*
Pesantren di negeri ini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang juga ikut serta dalam pencerdasan kehidupan bangsa di samping lembaga pendidikan lainnya. Gerakan kultural yang biasanya dilakukan oleh pesantren telah mampu mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang seimbang antara pengetahuan sosial dan agamanya.
<>
Tokoh-tokoh besar di negeri ini juga banyak yang merupakan jebolan pesantren, sebut saja Abdurrahman Wahid, Nur Khalis Madjid (allahumma ighfir lahuma warhamhuma), Salahuddin Wahid, Surya Dharma Ali, Hidayat Nur Wahid dan yang lainnya. Lahirnya tokoh-tokoh besar dari pesantren tidak lepas dari komponen yang ada di pesantren itu sendiri, baik kiai, guru, maupun santri, yang tentunya hal itu juga berhubungan erat dengan menejeman, sistem, hingga tradisi yang dikembangkan di dalamnya.
Kaitannya dengan tulis-menulis, penulis melihat bahwa pesantren secara struktural sama halnya dengan lembaga-lembaga non pesantren, dalam arti tidak memiliki program khusus tentang jurnalistik. Kegiatan pelatihan menulis hanya bersifat temporal dan bergantung pada momen. Sepengetahuan penulis yang membedakan antara pesantren dan non pesantren terkait dengan kreativitas tulis-menulis adalah budaya. Budaya tulis di pesantren sampai detik ini masih lebih kuat dibanding dengan lembaga pendidikan lainnya.
Berbicara tradisi menulis di pesantren, penulis teringat masa lalu ketika masih di pesantren. Di pesantren tersebut, seingat penulis, stidaknya ada enam belas organisasi daerah (orda) dimana setiap orda memiliki minimal dua buletin yang terbit setiap minggu, lain lagi dengan majalah-majalah yang biasanya terbit setiap bulan. Bisa dibayangkan, tiga puluh dua setiap minggu terbit, dan memuat puluhan karya santri yang bentuknya variatif. Hebatnya lagi, semua tulisan yang masuk ke redaksi, dan tidak dimuat di buletin, ditampilkan di mading atau bahkan di gedung-gedung pondok. Tidak heran jika kemudian, gedung-gedung pondok hampir penuh dengan tulisan-tulisan santri. Sungguh luar biasa.
Menurut penulis, tradisi menulis semacam itu perlu dilestarikan dan terus ditingkatkan oleh semua pesantren saat ini. Tokoh-tokoh pesantren seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Mahfudz, dan tokoh lainnya yang telah banyak meninggalkan karya tulis sejatinya dapat dijadikan sebagai suri tauladan dan motivator bagi pesantren untuk mencetak out put yang juga bisa menulis dan menghasilkan karya. Program-program yang mengarah pada pengembangan bakat menulis santri sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pesantren. Karena penulis melihat, budaya menulis di pesantren saat ini telah mulai luntur dan lebih mengedepankan budaya oral daripada budaya tulis.
Membangun budaya atau tradisi tidak semudah membalikkan telapak tangan, dubutuhkan kerja keras dan upaya-upaya kreatif, utamanya oleh para tokoh dan instansi-instansi terkait. Iran pada awalnya sama dengan negara ini, tidak memiliki tradisi menulis. Tapi kita lihat sekarang, budaya menulis di negeri itu berkembang luar biasa. Ratusan bahkan ribuan karya lahir dari sana. Buku-buku terjemahan yang ada di Indonesia juga tidak jarang merupakan produk asli negeri Iran. Pertanyaannya, mengapa budaya menulis di Iran berkembang dengan baik?, jawabannya adalah karena mereka mampu menumbuhkembangkan iklim menulis. Perpus-perpus mini berserakan dimana-mana, taman baca memenuhi pojok-pojok kota hingga desa, lembaga penelitian dibiayai dan difasilitasi secara lengkap oleh negara, buku-buku dijual dengan harga murah bahkan ada yang gratis, kajian-kajian keagamaan berjalan sebagaimana mestinya, dan sebagainya.
Itulah kiranya yang patut diteladani oleh pesantren di negeri ini, sehingga pesantren benar-benar mampu mencetak generasi kreatif yang penuh karya, utamanya karya yang berhubungan dengan ilmu-ilmu agama. Sehingga tidak ‘malu’ jika pesantren dikatakan sebagai gerbong ilmu agama dan para santri adalah lokomotifnya karena telah memiliki bukti berupa karya-karya keilmuan yang merupakan produk mereka sendiri.
Jika mengacu pada tradisi, sejatinya pesantren memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk menumbuhkembangkan tradisi menulis dibanding dengan lembaga non pesantren. Tradisi tulis dalam memaknai kitab gundul hakikatnya adalah benih-benih tradisi kepenulisan di pesantren. Artinya, iklim tulis-menulis sudah terbangun di pesantren, hanya saja bagaiamana kemudian pesantren dapat menindak lanjuti dan mengarahkan aktivitas tersebut menjadi kreativitas kepenulisan yang lebih sempurna. Sehingga para santri bukan hanya menulis arti kata perkata sebagaimana yang disampaikan kiai atau ustadz, akan tetapi lebih dari itu mereka dapat mengembangkannya menjadi kalimat, menjadi pragraf, dan akhirnya dapat menjadi sebuah tulisan yang sempurna.
Merindukan Tulisan Kiai
Dalam pesantren, kiai mendapatkan tempat terhormat di mata para santri dan masyarakatnya. Semua titah dan tindak lakunya menjadi panutan titah dan tindakan santri dan masyarakatnya, sebagaimana juga kreativitas kiai akan menjadi tauladan bagi para santri dan masyarakatnya.
Kaitannya dengan kreativitas menulis, penulis melihat bahwa saat ini para kiai mayoritas unggul dalam bidang oral atau wacana lisan. Sedangkan tulisan-tulisan terkait pemikiran dan ilmu yang dimiliki jarang sekali dapat diterjemahkan ke dalam bentuk tulisan. Padahal jika kita menoleh ke belakang, nama seperti K. Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdullah bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Sheikh Ahmad al-Fathani, Sheikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Khalil bin Abu Ammar al-Bangkalani, dan lainnya telah banyak mewariskan keilmuannya melalui tulisan-tulisan mereka. Hingga saat ini, karya-karya mereka tetap banyak dikaji oleh umat islam bukan hanya di indonesia tapi di seluruh dunia. Hal itu mengindikasikan bahwa ulama atau kiai waktu itu memiliki keseimbangan antara berdakwah secara lisan sekaligus berdakwah dengan tulisan. Padahal, waktu itu zaman belum semaju zaman sekarang ini dimana semua fasilitas telah tersedia dan mudah untuk dijangkau oleh siapapun dan dimanapun.
Pertanyaannya sekarang, ada apa dengan kiai kita saat ini?. Menurut penulis karena kiai terlalu sibuk dengan banyak hal. Kita tahu bahwa kiai saat ini bukan hanya berfungsi dan bertugas sebagai pengemban ilmu-ilmu keagamaan an sich, lebih dari itu mereka juga ingin berpartisipasi dalam bidang lainnya seperti sosial kemasyarakatan, ekonomi, hingga politik. Bahkan dalam tataran yang paling ekstrim, ada kiai yang rela meninggalkan pesantren dan santrinya karena disibukkan dengan urusan-urusan di luar. Ketika kiai sudah menyibukkan diri dengan banyak hal, maka minim sekali kemungkinan mereka untuk bisa meniciptakan sebuah karya tulis. Bukan karena tidak memiliki kreativitas dalam menulis, akan tetapi mereka lebih mengedepankan pekerjaan-pekerjaan lain dari pada menulis.
Dalam kaitan ini, managemen focus perlu kiranya direvitalisasi dalam ‘dunia kiai’. Dengan management focus itu kiai diharapakan dapat mampu mewujud sebagai pioner ilmu-ilmu agama yang banyak menelorkan karya-karya dengan tanpa mengesampingkan pekerjaan lainnya. Fokus di sini bukan berarti mereka harus memakai kacamata kuda, akan tetapi harus memiliki prioritas-prioritas tertentu kaitannya dengan tulis-menulis. Sehingga pengembangan ilmu-ilmu agama yang menjadi tugas pokok mereka, termasuk melalui tulisan, dapat berjalan dengan cepat. Terkait dengan fokus ini, Baty mengatakan: dalam menjalankan tugas hidup kita tidak terlalu melebarkan sayap sehingga seluruh tempat kita lewati tapi tidak satu tempat pun yang kita disinggahi karena terlena dengan pemandangan yang ada di depan mata.
Dengan begitu, diharapkan mulai detik ini akan banyak lahir karya-karya kiai, baik itu berupa tulisan di media dan lebih baik lagi jika berupa pemikiran utuh dalam bentuk buku. Karena apa, penulis sebagai alumni pesantren sangat rindu akan wejangan kiai sebagaimana di pondok pesantren tempo dulu. Rindu, bagaimana mereka dengan detail dalam menguraikan kata perkata dalam kitab kuning, bagaiaman cara mereka memahami melalui kedudukan shorof-nahwunya, bagaimana mereka mengungkap rahasia makna yang ada dalam sebuah kalimat, bagaimana mereka memahami secara terbalik, dan bagaimana mereka mengontekskan dengan kondisi saat ini. Namun, rasa rindu itu tidak akan terobati karena penulis sudah tidak lagi di pesantren. Hanya dengan tulisan itulah kiranya rasa rindu penulis dan alumni pesantren lainnya akan terobati.
* Penulis adalah alumni PP Annawari Bluto tinggal di Surabaya