Oleh Muhammad Afiq Zahara
Baru-baru ini terjadi rangkain aksi teror di Barcelona yang menelan korban cukup benyak. Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy, seperti yang dilansir CNN dan Reuters menyebut aksi itu sebagai jihadist terrorism (aksi terorisme jihad). Istilah yang menarik perhatian saya. Terorisme dan jihad tidak bisa disandingkan bersama yang kemudian menjadi sebuah terma tersendiri. Terorisme dalam bahasa Arab disebut irhâb, akar katanya adalah rahiba-yarhabu yang dalam Lisân al-‘Arab berarti khâfa (takut, menakuti, atau mengintimidasi). (Ibnu Mandhur, Lisan Al-‘Arab, Juz 2: 1748)
Sementara jihâd berasal dari kata al-jahdu atau al-juhdu yang berarti al-thâqah (mampu, berusaha dan kuat) (Ibnu Mandhur, Lisan Al-‘Arab, Juz 1: 708). Dari segi bahasa sangat jelas perbedaanya, yang satu menyebarkan ketakutan (irhâb) dan satunya lagi berusaha. Jihad memiliki cakupan sangat luas, tidak hanya perang, seperti perkataan Grand Syekh al-Azhar, Syeikh Ahmad al-Thayyib yang dilansir Alwafd, Edisi Selasa, 21 Juni 2016:
الجهاد ليس مقصورا على جهاد العدو المحسوس في ميادين القتال فحسب، ولكن أيضا العدو غير المحسوس وهو الشيطان والنفس الأمارة بالسوء
“Jihad tidak hanya terbatas pada jihad melawan musuh kasat mata di medan perang, tetapi juga musuh tak terlihat, yaitu setan, dan nafsu yang membawa pada keburukan.”
Aksi-aksi kekerasan saat ini dengan mudahnya dikaitkan dengan jihad, bahkan yang melakukan aksi tersebut merasa dirinya seorang mujahid. Objeknya jelas, negara non-Islam dan negara mayoritas Islam tapi tidak menerapkan syariat Islam.Menariknya mereka menganggap aksi teror sebagai bentuk jihad. Ini aneh tapi nyata.
Perbedaan paling mendasar antara jihad dan terorisme menurut Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi adalah, jihad harus dibangun atas dua prinsip utama, yaitu:
أولا: الدفاع عن الدين والمقدسات والنفس والوطن والعرض والمال وكل ما أمرنا الله تعالى بالدفاع عنه، وثانيا: لنصرة المظلوم.
“Pertama, mempertahankan agama, kesucian, jiwa, tanah air, persediaan (kebutuhan sehari-hari), harta benda dan segala sesuatu yang diperintahkan Allah untuk mempertahankannya. Kedua, untuk menolong orang yang didzalimi.” (Syeikh Muhammad Sayyid Thantawi, al-Farq bain al-Irhâb wa al-Jihâd Wâdlih).
Artinya, jihad tidak dibenarkan tanpa memenuhi dua prinsip itu. Sedangkan irhâb, menurut Syeikh Thantawi,menebarkan ketakutan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Inilah yang dilarang oleh Islam, karena Islam menolak segala bentuk agresi terhadap orang yang tidak bersalah dan terhadap agresi itu sendiri.
Kita sepertinya lupa, bahwa hidup bersama (ta’âyusy) dan saling mengenal antara makhluk tanpa memandang agama, ras, latar belakang dan warna kulit (ta’âruf bain al-umam wa al-syu’ûb wa al-qabâ’il) merupakan ketetapan Allah, seperti firmanNya (Q.S. al-Hujurat [41]: 13):
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa....”Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dari kata al-syu’ûb adalah al-qabâ’il al-‘idhâm (suku bangsa yang besar), dan kata al-qabâ’il adalah al-buthûn (suku atau marga). (HR. Imam Bukhori, hadits No. 3230).
Menariknya lagi, semua ayat sebelum al-Hujarat 13, menggunakan seruan, “Hai orang-orang yang beriman,” yang sangat spesifik objek seruannya, yaitu orang-orang beriman. Ayat 13 dalam al-Hujurat menjadi satu-satunya ayat yang menggunakan, “hai manusia”. Hal ini menunjukkan seruan hidup harmonis untuk seluruh umat manusia, terlepas agama, suku dan rasnya.
Dipertegas dengan firman Allah lainnya (Q.S. al-Baqarah [2]: 256), “Tidak ada paksaan dalam agama,” penekanannya jelas, yaitukebebasan beragama (hurriyah al-dîn) dan mempraktikkannya. Saya kira, disinilah ruang yang dimasuki dakwah. Prinsip dakwah Islam adalah kebijaksanaan, perkataan yang baik dan misal pun harus berdebat, harus menunjukkan sikap lebih baik dari mereka (Q.S. al-Nahl [16]: 125).
Jika tidak ada kebebasan beragama, semua orang harus masuk agama tertentu dengan cara paksa, maka ruang ekspresi dakwah yang telah digariskan oleh al-Qur’ân seperti tidak memiliki guna. Akan sangat aneh jika aksi teror dimasukkan sebagai kategori jihad. Artinya kita sudah menutup pintu atau peluang orang-orang tersebut mendengar kebenaran tanpa melaksanakan proses dakwah dan dialog yang diperintahkan al-Qur’ân.
Diversitas, kemajemukan dan kebhinekaan merupakan ketetapan dan fitrah kehidupan. Tuhan sendiri tidak menghendaki menciptakan umat yang satu, seperti firmanNya (Q.S. Hud [11]: 118: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Lalu, kenapa mesti dengan cara membunuh untuk menjadikan semua manusia sama? Bukankah seharusnya dakwah bi al-hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah wa jadilhum bi allatî hiya ahsan harus lebih didahulukan dalam memaknai atau memahami diversitas dan kemajemukan ini.
Penyebab terorisme jihad dan solusinya
Saya tidak akan berbicara aspek politik dan sosial tentang ini, meski pengaruh dua hal tersebut sangat besar terhadap munculnya terorisme.Fokus saya di sini hanya pada aspek pendidikan agama. Menurut sayapendidikan agama memiliki pengaruh besar dari dua sudut sekaligus, penyebab dan solusinya.
Hampir semua kajian terorisme mengungkapkan bahwa memahami agama secara tektual menjadi salah satu sebab lahirnya radikalisme. Pembunuhan Sayidina ‘Ali ra oleh Abdurrahman bin Muljam dari kelompok Khawarij sering disebut sebagai aksi radikal pertama dalam sejarah Islam, menganggap Ali bin Abi Thalib ra telah keluar dari Islam karena tidak menggunakan hukum Allah.
Memahami agama secara tekstual tidaklah salah selama memiliki guru yang jelas kualifikasi dan mata rantai keilmuannya. Karena sumber-sumber primer Islam semuanya menggunakan bahasa Arab yang memiliki makna sangat luas. Dalam Lisân al-‘Arab, satu kata Arab, contohnya ‘aradla-ya’rudlu, dengan segala arti dan perubahannya menghabiskan 14 halaman, per halaman dibagai dalam tiga kolom.
Artinya untuk memahami satu kata Arab saja diperlukan penelitian yang cermat. Maka pantas saja ada beribu-ribu kitab tafsir al-Qur’ân karena kekayaan makna dan kandungannya. Belum lagi jika ditarik dalam ranah fiqih yang memiliki perbedaan pendapat sangat kaya, terkadang bertentangan satu sama lain dalam penetapan hukumnya; satu wajib, satunya sunnah dan satunya lagi haram.
Dalam Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik, Qadî ‘Iyâd (1083-1149 M) mencatat perkataan Abdullah bin Wahb (743-812 M) yang mengatakan:
لولا أن الله أنقذني بمالك والليث لضللت, فقيل له: كيف ذلك؟ قال: أكثرت من الحديث فحيرني
“Jikalau Allah tidak menyelematkanku melalui Malik dan al-Laitsi, aku pasti telah sesat.” Dia ditanya (setelah mengatakan itu): “Kenapa seperti itu?” Jawabnya: “Aku hafal banyak hadits hingga membuatku bingung.” (Abu al-Fadl ‘Iyad, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Rabat: al-Maktabah al-Malikiyyah, tt,juz 3, hlm 236)
Artinya, belajar agama tidak mungkin tanpa guru. Seorang ulama besar seperti Abdullah bin Wahbin yang menghabiskan hidupnya untuk menuntut ilmu dari satu guru ke guru lainnya, menerima hadits dari para tabi’in dan menghafalnya, masih membutuhkan bimbingan guru, apalagi jika hadits tersebut hanya comotan dari buku, medsos dan buku. Hafal banyak hadits belum cukup untuk memahami agama secara menyeluruh.
Proses didik-mendidik harus mampu menghilangkan akar dari radikalisme.Memberikan pemahaman jihad yang menyeluruh, jangan sepotong-sepotong. Di sinilah pendidikan harus berperan aktif, dukungan pemerintah dibutuhkan, bukan malah dikebiri dengan FDS (full days school). Madrasah diniyah dan pondok pesantren dalam hal ini dapat menjadi instrumen penting untuk menghabisiradikalisme dan menguatkan karakter kebangsaan.
Kita harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan, apalagi yang berkaitan dengan masalah agama. Jangan sampai apa yang kita anggap “benar” ternyata salah. Khazanah Islam begitu luas, tidak akan habis dipelajari. Nabi Muhammad saw, mendorong kita untuk menuntut ilmu dari mulai buaian sampai liang lahat. Hukum menuntut ilmu pun wajib. Karena itu,—meminjam bahasa Gus Mus—“jangan berhenti belajar.”
Untuk asyik-asyikan sebelum berpisah, kita cermati perkataan Syeikh Hamza Yusuf Hanson berikut ini: “If there was a better way to die than in the arms of his wife (Sayyidah ‘Aisyah), then the Prophet (saw) would have died that way” (Jika ada cara yang lebih baik untuk mati daripada di pangkuan isterinya, kanjueng Rasul akan mati dengan cara itu).
Penulis adalah warga NU dari Yogyakarta. Alumni Pondok Pesantren Al-Islah, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Kritik, Petanahan, Kebumen.