Oleh Ferial Farkhan Ibnu Akhmad
--Bangsa Indonesia kemarin Kamis (14/1) kembali diguncang aksi terorisme. Peristiwa peledakan bom dan baku tembak yang terjadi di kawasan Sarinah Jl MH Thamrin Jakarta Pusat sempat membuat tegang kondisi Ibu Kota. Motif penyerangan kejadian itu hampir sama dengan teror yang terjadi di kota Paris Prancis beberapa waktu yang lalu. Pihak Kepolisian menyatakan bahwa otak dari aksi teror tersebut adalah jaringan ISIS yang dilakukan oleh seorang militannya yang bernama Bahrun Naim.
Tindakan terorisme merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan dan akan menimbulkan ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh bangsa di dunia ini kiranya sepakat untuk mengutuk segala bentuk aksi terorisme. Ada banyak latar belakang yang melahirkan gerakan radikalisme. Saat ini presepsi masyarakat selalu berasumsi bahwa akar dari terjadinya tindak radikalisme adalah motif agama. Dan yang paling sering dimaksud adalah agama islam. Padahal islam pada hakikatnya adalah agama yang menebarkan kasih sayang dan rahmat bagi seluruh alam.
Faktor lahirnya terorisme
Ada banyak definisi terorisme. Penulis sendiri akan mengutip pada Perpu Nomor 1 Tahun 2003 yaitu “setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Sedangkan menurut Oxfords Advance Leaners Dictionary (1995) terorisme adalah “Segala bentuk tindakan kekerasan untuk tujuan politis atau untuk memaksa sebuah pemerintahan untuk melakukaan sesuatu, khususnya untuk menciptakan ketakutan dalam sebuah komunitas masyarakat”.
Jika kita tengok kilas sejarah munculnya terorisme memang sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Namun istilah terorisme mulai populer sejak abad ke-18. Menurut buku yang berjudul Political Terrorism (1982) karangan Grant Wardlaw mengatakan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum revolusi prancis tahun 1798. Tapi baru mencolok sejak pertengahan dan menjelang akhir terjadinya perang dunia I dan terjadi hampir di semua belahan dunia. Sedangkan aksi teror yang bermotif agama sudah ada sejak zaman pemerintahan khalifah Ali Bin Abi Thalib yang diprakarsai oleh aliran Khawarij. Namun radikalisme agama semakin populer mulai satu setengah dekade yang lalu dangan adanya penyerangan gedung WTC di New York AS oleh kelompok Islam radikal Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden. Aksi teror pun merambah ke Indonesia dengan adanya peristiwa Bom Bali I dan II pada tahun 2002 dan 2005.
Pada dasarnya ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan terorisme. Ketidakadilan yang terjadi baik itu dari segi ekonomi, sosial maupun politik semakin mendukung adanya tindakan tersebut. Akan tetapi faktor yang paling fundamental adalah masalah ideologi dan teologi yang diusung oleh pelaku itu sendiri. Semua kelompok yang melakukan tindakan terorisme bertujuan untuk membumikan ideologi yang mereka yakini. Hal ini bisa terjadi karena adanya ketidakpuasan dengan ideologi yang ada sebelumnya.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengerucutkan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Ideologi Pancasila merupakan produk pemikiran luhur para founding father kita yang dijadikan sebagai falsafah hidup rakyat Indonesia kini sedang diserang oleh berbagai kekuatan ideologi lain. Dan yang paling utama adalah ideologi negara agama. Apa itu ideologi negara agama ? yaitu suatu kekuatan ide pemikiran untuk mendirikan negara yang berlandaskan syariat Islam secara formal. Ideologi semacam ini di Indonesia bermula dari adanya kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang didirikan oleh SM Kartosuwiryo guna mendirikan sebuah negara Islam Indonesia (NII).
Ideologi negara agama tercipta atas dasar keinginan untuk menciptakan suasana kehidupan beragama guna menjalankan syariat agama Islam secara murni dan sempurna dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist di atas sebuah negara. Tapi sayang, Pemahaman ajaran agama hanya diimplementasikan secara tekstual saja di negara yang multikultural ini. Menerapkan ajaran agama dengan kekerasan serta menganggap kelompoknya yang paling benar. Mereka pun tak segan memvonis kelompok yang tak sejalan dengan pemikirannya sebagai kelompok salah yang wajib diperangi dengan dalih jihad. Memperjuangkan ideologi bagi mereka adalah proses mencapai jaminan tuhan menuju surga yaitu dengan mendapatkan gelar mati syahid. Walaupun dengan cara yang konyol seperti bom bunuh diri. Mereka menyampingkan hakikat ajaran islam yang Rahmatan lil alamin. Penyimpangan ajaran agama seperti itulah yang menjadi doktrin pada setiap anggota yang berhasil mereka rekrut. Visi yang selalu mereka kampanyekan adalah berdirinya Negara Islam (Dar al-Islam) dan menganggap bahwa negara Indonesia adalah negara musuh (Dar al-Harb) maka wajib untuk diperangi. Sistem pemerintahan yang selama ini berjalan mereka anggap toghut (Kafir) sehingga harus diganti dengan sistem khilafah islamiyah. Dan barang siapa yang berupaya mencegah maka halal hukumnya untuk dibunuh. Sungguh merupakan pemahaman ajaran agama yang salah kaprah.
Permasalahan bangsa semacam ini sungguh sangat menuntut kita sebagai warga negara untuk melakukan upaya mempertahankan keutuhan negara. Pastinya kita tidak ingin negara kita yang telah diraih dengan darah dan nyawa hilang begitu saja. Ikhtiar yang harus kita lakukan tidak sebatas sebatas menangkap dan menghukum pelaku teror saja. Tapi bagaimana kita mencegah tumbuh suburnya ajaran ideologi yang mereka bawa. Karena barapa pun banyaknya teroris yang ditangkap tapi ideologi mereka masih bersemi di negara ini, sampai kapanpun terorisme akan tetap ada. Kita harus belajar dari sejarah ketika ideologi Pancasila bertempur dengan ideologi komunis. Ucapan Petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika akan dihukum mati mengatakan “PKI sebagai partai mungkin bisa mati, namun komunis sebagai ideologi tidak akan bisa mati”. Ini harus kita cermati dan kita renungkan.
Upaya penanggulangan radikalisme di Indonesia
Fenomena ini bagaikan benang yang kusut. Perlu adanya kerjasama yang baik dari semua elemen masyarakat. Ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan dalam meghadapi permasalahan ini. Pertama, Membangkitkan kembali spirit kekuatan dari nilai-nilai ideologi Pancasila yang menjadi dasar negara. Tanpa disadari semakin kesini semakin memudar kesaktian Pancasila. Pada hakikatnya semua nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah mencakup kebutuhan kita dalam kehidupan bernegara. Permasalahannya adalah selama ini nilai pancasila hanya diaktualisasikan sebatas ingatan kepala saja. Belum sepenuhnya bisa diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga selalu dijadikan celah untuk diserang oleh ideologi lain. Dan cara yang paling efektif adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Agar nilai-nilai Pancasila bisa ditanamkan sejak dini pada semua anak bangsa secara konsekuen.
Kedua, adanya perbaikan pada metode dakwah yang dilakukan oleh para pemuka agama. Sudah saatnya masyarakat diajarkan pemahaman ajaran dan doktrin agama yang damai dan menyejukkan. Sadarkan kepada semua umat beragama bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan tentang kekerasan. Bukan malah menebar rasa kebencian kepada sesama manusia. Klaim fanatik yang menganggap ajaran yang mereka yakini paling kaffah sehingga selalu menyalahkan kelompok lain itu adalah awal mula lahirnya kepribadian yang radikal. Sehingga mudah untuk dijejali doktrin kekerasan dalam beragama. Dakwah yang disampaikan pun jangan hanya mengajarkan ritual ibadah secara yang simbolik saja. Tapi bagaimana kita bisa melaksanakan ibadah dengan benar, baik itu ibadah yang langsung berhubungan dengan Tuhan (Hablum Minallahu) maupun yang berhubungan dangan sesama manusia (Habblum Minannas). Sehingga akan tercipta sebuah iklim yang harmonis dalam kehidupan beragama.
Ketiga, Meningkatkan kepedulian seluruh elemen masyarakat akan pentingnya bela negara. Karena dengan itulah ideologi kita bisa tahan dari serangan musuh. Bela negara bukan hanyalah tanggungjawab militer saja. Tapi semua manusia yang hidup di atas negara bhineka ini. Tanamkan rasa cinta tanah air kepada semua masyarakat. Ini juga merupakan tugas para ulama untuk menyadarkan para jamaahnya untuk meningkatkan rasa cinta tanah air. Seperti yang sudah dilakukan para kyai NU pada zaman penjajahan dulu. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pernah mengatakan bahwa “Agama dan Nasionalisme tidak bisa dipisahkan”. Tentu ini merupakan ijtihad pemikiran beliau dalam mengatasi permasalahan bangsa pada saat itu.
Keempat, poin keempat ini menurut penulis adalah jurus pamungkas dalam menghadapi gerakan radikalisme yang ada di negara ini. Yaitu harus adanya perbaikan dalam tatanan pemerintahan negara ini sesuai dengan nilai Pancasila. Kondisi perpolitikan di negara ini pun juga harus dibenahi. Masyarakat setiap hari selalu disuguhkan oleh media wajah perpolitikan negara ini yang rancu. Itu menambah deretan panjang penyebab munculnya rasa ketidakadilan. Ingat, adanya terorisme di negara ini sama dengan adanya pertempuran ideologi. Selama ideologi Pancasila tidak bisa menjawab segala permasalahan bangsa dan merealisasikan rasa keadilan seperti yang termaktub dalam sila kelima, maka tunas-tunas terorisme dan separatisme akan selalu ada dan semakin subur di negara ini. Segala upaya yang tercantum dalam poin sebelumnya harus sinergi dengan perbaikan ekonomi dan pembagunan sosial. Almarhum KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan “Nasionalisme tanpa keadilan adalah ilusi”.
Penulis masih berkeyakinan bahwa ideologi pancasila masih bisa kita andalkan untuk menghadapi segala permasalahan yang terjadi di negeri ini. Tentu itu semua tak terlepas kesadaran kita sebagai warga negara. Jika itu bisa dilakukan, maka akan tercipta suatu kedamaian sehingga negara ini bisa menjadi negara yang Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur.
Ferial Farkhan Ibnu Akhmad, Ketua PC IPNU Kabupaten Brebes.