Opini

Terorisme dan Nalar Bengkok Beragama

Rabu, 16 Mei 2018 | 07:00 WIB

Terorisme dan Nalar Bengkok Beragama

Ilustrasi: tribunnews

Oleh Muhammad Makhdum 

Aksi teror kembali mengguncang Indonesia. Tidak sampai sepekan paskatragedi Mako Brimob (10/5) yang menewaskan lima orang polisi, publik dikejutkan dengan rentetan bom tiga gereja di Surabaya (13/5). Belasan manusia meregang nyawa secara mengenaskan, sementara puluhan lainnya terluka. Sangat tragis, pelaku bom bunuh diri ini melibatkan satu keluarga. Suami, istri dan keempat putera-puterinya yang masih belia, berbagi tugas meledakkan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan Gereja Pantekosta. 

Belum kering air mata duka, petang hari bom kembali meledak di Rusunawa Sidoarjo. Esok paginya, ledakan bom bunuh diri terjadi di Polrestabes Surabaya. Jawa Timur yang relatif aman dan kondusif berbalik mencekam. Tragedi ini seolah menjadi puncak dari beberapa aksi teror bom yang pernah terjadi di Indonesia, sekaligus menandai awal bulan suci Ramadhan dengan duka. 

Kemudian, ramai-ramai kita mengamini pernyataan klise bahwa terorisme tidak bersumber dari agama mana pun. Agama senantiasa mengajarkan cinta kasih dan perdamaian. Tidak satu pun agama di dunia yang mengajarkan teror dan kekerasan. Terrorist has no religion. Benarkah? 

Dalam memahami ini harus dibedakan antara prinsip agama yang berlaku secara umum dengan fakta yang terjadi di lapangan. Secara prinsip, agama tidak pernah sekali pun mengajarkan kekerasan, terlebih melegalkan aksi teror. Akan tetapi secara empirik, para pelaku bom bunuh diri tersebut nyata-nyata memeluk agama tertentu, bahkan tidak jarang mereka juga rajin beribadah. Tidak perlu ditutup-tutupi, karena mengaburkan identitas mereka justeru dapat menjadi bom waktu bagi kita sendiri. 

Harus diakui, banyak di antara kita yang mendiamkan dan bahkan menyetujui aksi-aksi intoleransi agama. Kalaupun ada pihak lain yang memberi warning akan penyebaran virus radikalisme, kita justeru balik ngeyel bahwa itu semata dilakukan untuk menyudutkan agama tertentu. Di sisi lain, jika terdapat aksi-aksi terorisme, tidak jarang kita nyinyir sebagai pengalihan isu, rekayasa, maupun konspirasi yang bermotif politis. Di beberapa akun media sosial maupun grup WA yang saya ikuti, tidak sedikit teman yang beropini bahwa para bomber adalah kaum kafir yang mencitrakan diri sebagai muslim untuk merusak citra Islam. 

Riset Ilmiah Radikalisme

Survei Wahid Institute (2017) terhadap 1.520 responden mendapatkan hasil yang mengejutkan, bahwa 0,4 persen masyarakat kita pernah bertindak radikal, sementara 7,7 persen siap bertindak radikal jika memungkinkan. Angka yang tampak 'kecil' memang. Akan tetapi, jika dikonversi dengan jumlah penduduk Indonesia, ada 600 ribu orang pernah bertindak radikal, dan ada sebelas juta orang siap bertindak radikal. 

Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan The Nusa Institute yang disajikan pada tahun 2017 juga memberikan hasil senada. Berdasarkan 9.600 sampel yang diambil di 32 provinsi, terdapat lima daerah yang paling berpotensi radikal. Bengkulu 58,58%; Gorontalo 58,54%; Sulawesi Selatan 58,42% dan Lampung 58,38% serta Kalimantan Utara 58,30%. 

Hasil lebih mengejutkan lagi disajikan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Bahwa dari 2.180 responden nasional, sebanyak 37,71% setuju bahwa makna jihad adalah perang dan membunuh orang lain (qital), 23,35% membenarkan bahwa bom bunuh diri adalah jihad, dan 33,34% di antaranya menganggap wajar tindakan intoleran terhadap minoritas. 

Sebenarnya, beberapa hasil kajian ilmiah tersebut lebih dari cukup untuk membuka mata bahwa radikalisme yang bermuara pada terorisme telah sedemikian mengkhawatirkan. Akan tetapi, kebanyakan dari kita justeru lebih menggemari informasi yang bersumber dari tautan berita yang tidak jelas sumbernya, screen shot, maupun pesan broadcast Whatsapp. Termasuk meme-meme yang memang diakui mampu membidik sisi emosional manusia, namun sejatinya miskin data ilmiah. Ini jelas berbahaya, karena mengaggap bahwa teroris itu tidak pernah ada, sementara mereka terus bergerak secara klandestin dan mengincar sasaran berikutnya.

Kegagalan Memahami Agama
Para teroris itu bukanlah atheis, tetapi beragama dan jelas bertuhan, bahkan tidak jarang sebagai pemuka agama. Di Myanmar, kita mengenal Ashin Wirathu, bikshu Buddha yang sedemikian keji menyuarakan narasi kebencian dan membantai penduduk Muslim Rohingya. Dominic Ongwen, anggota Kristen Lord’s Resistance Army (Tentara Perlawanan Tuhan) Uganda, merekrut siswi-siswi sekolah menengah sebagai budak seks, memerintahkan mereka membunuh dan memakan daging ratusan warga sipil Uganda. Tak beda jauh dengan pelaku bom bunuh diri gereja Surabaya. Mereka sekeluarga muslim, bahkan dikenal rajin beribadah. Menurut cerita tetangga, mereka masih menyempatkan diri berjamaah Shubuh di masjid sebelum meledakkan diri. 

Sebagai insan beragama, mengapa mereka menjadi teroris? Menjadi teroris bukan hal yang mudah dan instan. Pada tahap awal biasanya dimulai dari sikap sentrisme (merasa benar sendiri), lalu meningkat menjadi primordialis (sikap fanatik akut terhadap kelompoknya), atau dalam bahasa agama disebut dengan tatharruf (ekstrim), berlanjut menjadi intoleran, radikal, dan puncaknya sebagai teroris. 

Pada dasarnya, teroris juga manusia normal yang memiliki empati dan rasa kemanusiaan. Kebrutalan teroris terjadi ketika empati di dalam hatinya tergantikan oleh tujuan yang sangat kuat tetapi hanya sesaat. Teroris adalah orang-orang yang karena suatu alasan, gagal menyelami makna kehidupan kemudian bertemu dengan kelompok yang menawarkan 'kehidupan baru', tetapi harus ditempuh melalui jalan kematian. 

Nalar yang bengkok dalam memahami teks-teks kitab suci juga seolah melegalkan aksi teror atas nama agama. Bukan cuma Islam, kondisi seperti ini dapat menimpa pada pemeluk agama apa pun. Para penceramah bernarasi kebencian dan permusuhan banyak bertebaran di kanal informasi. Menganggap yang berbeda sebagai musuh dan harus diperangi menjadi doktrin sehari-hari. Di tengah masyarakat awam yang haus spiritualitas, kemunculan mereka justeru meracuni darah kehidupan. Anehnya, yang demikian ini justeru laku keras dan digemari. Jika demikian yang terjadi, sesungguhnya mereka telah gagal memahami agama sebagai jalan perdamaian dan keselamatan serta tidak mampu mengenal sifat Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Penyayang.

Melawan Terorisme
Apa pun motif dan bentuknya, terorisme harus dilawan. Sebagai pribadi, langkah awal dapat dimulai dari melawan setiap narasi kebencian dengan perdamaian, setidaknya menahan diri untuk tidak terseret arus kebencian. Meningkatkan literasi digital dan spiritual menjadi sangat penting, mengingat benih-benih terorisme bisa saja disemai oleh informasi absurd, kesalahan dalam menganalisis sumber data, hingga kerancuan dalam menyimpulkan peristiwa, ditunjang oleh pemahaman yang sempit terhadap kebenaran tafsir kitab suci. 

Peran pemuka agama, tokoh masyarakat, lembaga dan ormas keagamaan dalam membimbing dan mengawal kehidupan beragama masyarakat tidak boleh kendor. Dalam hal ini, NU dan Muhammadiyah sebagai arus besar Islam berhaluan moderat harus terus bergandengan tangan menjadi ujung tombak sekaligus benteng melawan radikalisme. Demikian juga elemen agama lainnya, terus berjuang menyemai bibit-bibit persaudaraan di tengah perbedaan dan merawat kebhinnekaan. 

Pemerintah dan aparat keamanan harus bekerja keras, sebagai jawaban atas keraguan masyarakat, termasuk tudingan miring terhadap keseriusan pemerintah memberantas aksi terorisme. Teroris tak cukup dilawan dengan senjata. Mencegah bibit-bibit radikalisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat akan sangat efektif, tentunya harus dilakukan dengan cara-cara bijak, persuasif, dan melibatkan semua elemen masyarakat. Terorisme harus dikutuk dan dilawan, tetapi jangan sampai mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. 

Penulis adalah anggota Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PCNU Kabupaten Tuban, Ahlul Ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. 


Terkait