Oleh Aswab Mahasin
Tertarik mengangkat tema ini diawali dari beberapa berita di Media Online (Februari, 2017), seperti Kompas, CNN Indonesia, di mana Bill Gates dalam beberapa seminarnya mengatakan ada ancaman bahaya “teroris biologi”, lumrah disebut “bioterorisme”. Menurut Bill Gates, bahaya bioterorisme harus mulai diwaspadai. Ia pun mengatakan, teroris biologi melebihi bahaya perang nuklir.
Begitupun dengan National Geographic Indonesia pada tahun 2015 telah mengangkat tema ini sebagai siaga dan mengingatkan masyarakat Indonesia untuk waspada. Pada tahun 2014 Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) tidak ketinggalan melakukan kuliah umum jarak jauh tentang bioterorisme. Kuliah jarak jauh itu bersama Timor Leste dan Jepang, difasilitasi oleh United Nations Security.
Sebenarnya saya kurang begitu menguasai/memahami tema ini. Namun, saya mencoba menyusunnya dengan mengumpulkan berbagai macam data, melalui pemberitaan online atau beberapa buku yang mengangkat tema bioterorisme dan ada pula jurnal. Kenapa? informasi bioterorisme merupakan hal penting, walaupun di Indonesia sendiri masih jarang terjadi kasus bioterorisme, Indonesia tetap harus meningkatkan kewaspadaan, pemerintah dan masyarakatnya.
Harapan saya, penyusunan tulisan singkat ini menjadi pengetahuan bagi warga Nadhliyin khususnya, dan seluruh pembaca umumnya. Tulisan ini bukan wacana seksi pada bulan/minggu-minggu ini. Saya tekankan lagi, ini sebagai pengetahuan kita bersama, kalau sekarang ancaman bioterorisme itu nyata.
Dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol. 4, No. 1, 2007, Demokrasi Mati Suri, Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), terorisme merupakan tindakan yang direncanakan untuk mengakibatkan kematian dan ancaman secara fisik yang berbahaya bagi masyarakat sipil (non-combatant). Bioterorisme merupakan salah satu bentuk teror dengan menggunakan atau menyebarkan kejahatan biologis, seperti virus dan bakteri. Sehingga menimbulkan penyakit atau kematian manusia, hewan dan tanaman (perang kuman).
Pada abad 21, ancaman bioterorisme (atau penyakit infeksi serius, seperti HIV, SARS, avian influenza, dan virus) kian mengkhawatirkan seiring dengan meningkatnya mobilitas dan lalu lintas manusia dan barang antarnegara. Penggunaan senjata biologis dan kimia ini telah disepakati dalam konvensi senjata biologis yang mulai berlaku sejak 26 Maret 1975. Baru 22 negara meratifikasi konvensi atau kesepakatan multilateral pertama mengenai pelucutan senjata. Tujuannya melarang produksi seluruh kategori senjata, kecuali untuk tujuan medis dan pertahanan skala kecil. Adapun konvensi kimia baru diberlakukan sejak 29 April 1997 dan telah diratifikasi oleh 50 negara. Bioterorisme sangat berpengaruh pada tingginya angka kematian penduduk maupun hewan. Dengan demikian, bioterorisme berkaitan dengan keamanan dan stabilitas negara. (Jurnal Penelitian Politik, Vol. 4, No. 1, 2007, Demokrasi Mati Suri, LIPI)
Bioterorisme sudah ada sejak berabad-abad yang lalu dan terus mengalami perkembangan. Pada abad ke-12 panah yang difungsikan untuk berperang, pada ujung panahnya terdapat darah beracun. Selain itu, beberapa kejadian yang terindikasi sebagai bioterorisme; selimut yang digunakan oleh penderita cacar diberikan kepada para Indian Amerika di Forr Pit, pada perang dunia telah melakukan berbagai riset senjata biologis, telah terbukti penggunaan selama perang. Lalu, tahun 1979 secara tidak sengaja terjadi lepasnya virus Anthraks Rusia diduga mengalami kebocoran pada sebuah riset pengembangan senjata biologis rahasia.
Mengambil berita National Geoghraphic tertanggal 3 Oktober 2015 (tertulis bersumber dari Kompas), menuliskan, Ronald M. Atlas, ahli Mikrobiologi, senjata biologi dan bioterorisme dari University of Louisvile di Amerika Serikat dalam seminar Infectious, Disease and Security: Confronting the Dual Use Dilemma yang diadakan Lembaga Eijkman, Atlas mengungkapkan, “kasus bioterorisme yang pernah terjadi adalah kontaminasi bakteri Salmonella pada salad di 10 restorean Amerika Serikat tahun 1984. Lebih dari 750 orang di Oregon sakit. 10 tahun kemudian terungkap peristiwa tersebut merupakan aksi bioterorisme dilatarbelakangi kepentingan politik.
Kasus selanjutnya terjadi di Jepang, seorang ilmuan Jepang menebar bakteri anthraks, disinyalir sebagai kasus bioterorisme. Namun, di Amerika Serikat, aksi bioterorisme dengan bakteri anthraks yang disebarkan dengan amplop tahun 2001 berhasil membunuh 5 orang serta membuat lebih 20 orang terinfeksi. Kejadian itu membuat pemerintah Amerika Serikat menanggung biaya besar karena harus memberikan dosisprofilaksis pada puluhan ribu orang.
Seperti yang dilansir pada situs resmi Universitas Indonesia, 21 Agustus 2014, menerangkan, “penyebaran virus Flu Burung dan virus Mers-Cov pernah dikaitkan dengan bioterorisme. Teori konspirasi global menyebutkan bioterorisme sebagai semua ancaman walaupun para ilmuan hingga saat ini tidak menemukan bukti-bukti adanya penggunaan senjata biologis pada wabah penyakit tersebut.
Penyakit Flu Burung maupun penyakit Flu A (H1N1) dapat dipergunakan sebagai bioterorisme/teror biologisa. Akan tetapi, yang dapat dipergunakan sebagai senjata biologis (biological weapon) dalam hal ini hanya flu A (H1N1) karena sudah dapat ditularkan antar manusia. Sementara, flu burung tidak dapat digunakan sebagai senjata biologisa karena belum menular antar manusia serta angka kesakitan (morbiditas) kecil pada manusia. (dr. drh. Mangku Sitepoe, Melawan Influenza A (H1N1), hlm.8)
Inilah salah satu kenyataan yang kita hadapi sekarang, aksi terorisme saat ini tidak hanya menggunakan bahan peledak saja, juga menggunakan bahan kimia dan biologis. Perkembangan tekhnologinya semakin berkembang dan maju.
Senjata biologis merupakan makhluk hidup, entah karena penyebab penyakit atau toksinnya digunakan dalam bioterorisme (menyerang manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan). Menurut para ahli, Indonesia rentan terhadap serangan bioteror, karena di Indonesia mudah dijumpai vector penyebar organisme pathogen.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, perang senjata biologi ini jauh lebih murah, mudah, dan sangat ampuh dibanding dengan senjata kimia atau konvensional, disebabkan oleh sifat senjata biologi yang tak kasat mata. Spora anthraxs hanya memiliki diameter sebesar debu, sehinga sama sekali tidak bisa langsung terlihat. Di samping itu, bioterorisme sangat efektif untuk membunuh secara massal.
Penggunaan senjata biologi merupakan tantangan yang sedang dihadapi oleh dunia global, tidak menutup kemungkinan Indonesia juga. Setidaknya ada kewaspadaan bagi kita semua untuk mengantisipasi bioterorisme menjalar. Apalagi Indonesia telah masuk pada pasar bebas atau masyarakat ekonomi asean, di mana barang keluar masuk dengan mudah.
Hal tersebut berbeda dengan trauma yang dihadapi Amerika. Amerika sempat diteror virus antraks. Mereka menelurkan undang-undang anti-teroris biologi/bioterrorism act, disahkan pada 12 Juni 2002, undang-undang ini mengamanatkan setiap bahan ekspor pangan yang masuk ke Amerika, harus melalui quality control dan pendataan lengkap, dari mulai nama petani, nama produsen, fasilitas pabrik, gudang, jenis transportasi dan sebagainya. Ini bagian dari antisipasi terulangnya bioterorisme di Amerika/sikap paranoid Amerika terhadap ancaman bioterorisme.
Dalam hal ini, sikap Indonesia, khususnya pemerintah, seperti yang disampaikan oleh Aliansi PDHI dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), dibutuhkan payung hukum yang pasti dan jelas untuk mengahadapi bahaya bioterorisme. Begitupun dengan pakar tumbuhan dan satwa liar Universitas Gajah Mada, Joko Marsono, menekankan pentinganya pasal pencegahan bioterorisme ke dalam batang tubuh rancangan Undang-undang Karantina. Karena ia menyoroti pasal bioterorisme yang melibatkan intelejen hanya dimasukan dalam pasal penjelasan. Baginya, bioterorisme merupakan ancaman besar.
Selain itu, dibutuhkan kesadaran semua lapisan masyarakat, khususnya tenaga kesehatan dalam mendeteksi dini kesakitan dan kematian yang timbul di masyarakat. Begitupun dengan pemerintah, lebih ketat dalam mengontol makanan atau bahan pangan yang masuk dari luar.
Dalam hal ini, tidak hanya pengawasan terhadap bioterorisme saja, melainkan biotekhnologi juga. Pernah ada kasus di Bogor,4 warga china menanam cabai yang mengandung erwinia chrysanthemi, merupakan organisme pengganggu tanaman karantina, golongan A1 atau belum ada di Indonesia.
Tempo pada salah satu artikelnya, ditulis oleh Khudori, menyatakan “di antara negara Asean seperti Thailand dan Singapura, Indonesia tergolong lemah dalam hal biosekuriti. Padahal, sebagai negara tropis, Indonesia merupakan gudang berbagai agensia biologis. Di sisi lain, sebagai negara agraris, Indonesia sangat rentan terhadap kemungkinan ancaman agen biologis.
Sementara itu, kesiap-siagaan terhadap munculnya wabah-wabah penyakit pada manusia, hewan, dan tumbuhan masih sangat rendah. Bioteror saat ini hanya dipandang sebagai ancaman kesehatan manusia. Belum dianggap sebagai pelemahan ketahanan nasional.” Semoga Indonesia terhindar dari hal-hal yang merusak.
Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.