Opini

Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Tinggi

Kamis, 14 Maret 2013 | 05:32 WIB

Menarik ketika menyimak berita di beberapa koran yang mengusung kritikan sejumlah perguruan tinggi terhadap Marzukie Ali. Pernyataannya bahwa pelaku koruptor di negeri adalah alumni perguruan tinggi terkenaldianggap kontroversial.
<>
Marzukie menyampaikannya dalam acara seminar saat dirinya sebagai salah satu pembicara yang bertajuk “Pandangan Kritis tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia: Cita dan Realita” yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.

Sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi tentunya tidak hanya membuka dan memberikan jaminan peluang kerja kepada alumninya di tengah pragmatisme dunia pendidikan, lebih dari itu institusi pendidikan tinggi di samping ikut menyumbangkan kemajuan pendidikan di Tanah Air juga mempunyai tanggung jawab terhadap anak didiknya selama menempuh pendidikan hingga ia menekuni suatu bidang usaha atau karir tertentu. Karena sikap yang ditampilkan oleh alumni pada lembaga pendidikan merupakan cerminan atas kualitas dan budaya pendidikan pada lembaga tersebut.

Ketika Marzukie Ali membuat pernyataan yang dianggap kontroversial bahwa banyaknya pelaku koruptor saat ini merupakan keluaran (orang yang pernah dididik) pada lembaga pendidikan tinggi tertentu itu memang tidak salah dan benarnya. Terbukti bisa dilihat latar belakang pendidikan dari pelaku penyelewengan kekayaan negara (koruptor) adalah orang-orang yang berpendidikan (mempunyai ijazah) tinggi. Dengan demikian berarti ada yang salah dengan praktek pendidikan kita di Indonesia.

Pendidikan Para Filosof

Seorang filosof Yunani, Socrates ketika memberikan materi ajar kepada murid-muridnya, ada satu hal yang ditekankan dan menempati urutan pertama untuk keberlangsungan pendidikan bagi anak didik dan genarasi selanjutnya, yaitu: spiritual in student dan inquiry. Dalam konsep Socrates, penanaman kecerdasan hati (spiritual in student) terhadap anak didik menempati hal yang paling pertama dan utama dalam dunia pendidikan agar alumninya tidak menyimpang dengan garis yang memang menjadi tujuan dari pendidikan. Sementara proses inquiry, seperti kecerdasan afektif dan psikomotorik juga dengan skill lainnya merupakan tahap selanjutnya setelah anak didik dimantapkan dulunya hatinya. Ketika penanam prinsip pada anak didik sudah kokoh, maka bisa dilanjutkan dengan beberapa pengembangan keilmuan yang lain.

Adanya kasus seperti korupsi di negeri ini yang dialakukan oleh pejabat yang berlatar pendidikan tinggi bukannya tidak tahu bahwa apa yang ia lakukan tidak benar dan merugikan orang lain (negara), tapi karena proses penanaman nilai-nilai spiritual dalam pendidikan mereka lemah sehingga melakukan kegiatan korupsi dianggap sebagai suatu hal yang legal dan sah menurut dirinya sendiri.

Proses pendidikan adalah perbaikan menuju manusia yang paripurna, peka terhadap kondisi sosial, sebagai aktor perubahan dan menjadi kontrol terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat serta berbagai macam ketimpangan dalam masyarakat. Dalam prakteknya, tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) lulusan pendidikan tinggi yang semakin jauh dari dasar tujuan dan fungsi pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Paolo Preire adalah memanusiakan manusia, dengan pendidikan orang semakin tinggi derajatnya, memiliki kebebasan individu, dan semakin peka terhadap kondisi sosial masyarakat. Tetapi keluaran lembaga pendidikan kita jauh sebaliknya, mereka melakukan kebajikan layaknya orang yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali.  Padahal ketika terbukti melakukan kesalahan ia berasal dari latar belakang pendidikan tinggi seperti sarjana, magsiter, doktor bahkan ada yang profesor dan lembaga yang bisa dikatakan favorit.

Sanksi Lembaga pada Alumninya

Setiap lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak mungkin mengajari hal-hal yang negatif terhadap anak didiknya selama proses pendidikan karena itu telah keluar dari kodrat pendidikan secara umum. Para lulusan (ulumni) yang melakukan tindak korupsi berarti tidak bisa secara langsung menyalahkan lembaga sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi perlu dilihat latar belakang mereka terlebih dahulu dari berbagai aspek.

Lembaga pendidikan termasuk juga perguruan tinggi hendaknya juga bertanggung jawab terhadap keberadaan alumninya. Ada semacam ikatan dan kontrol terhadap alumni agar ketika alumni melakukan suatu hal tindakan yang salah, maka lembaga bisa memberi peringatan terlebih dahulu. Taruhannya kalau sampai terjadi ada alumni sengaja berbuat suatu kejelekan maka jelas yang ternodai juga adalah citra lembaga di masyarakat. Dan orang akan menilai ketika banyak alumni dari suatu lembaga terjangkit banyak kasus maka proses pendidikan bisa dikatakan gagal dalam lembaga pendidikan dimaksud.

Sanksi lembaga terhadap para alumninya yang sengaja membuat lembaga tersebut tercemar akibat kesengajaan perbuatannya adalah dengan cara mencabut gelar akademik yang diperolehnya. Dengan demikian, akhirnya para alumni juga bisa hati-hati dan mikir untuk melakukan kebijikan karena berakakit terhadap citra lembaga tercintanya dan juga menjadi taruhan untuk karir dirinya selanjutnya. Adanya sanksi demikian bisa membuat orang jera dan kesadaran bersama ditengah terpuruknya bangsa dalam multi krisis. Semoga!



*Penulis adalah peserta Program Doktor (S3) PPs. IAIN Sunan Ampel Surabaya


Terkait