Hendra Try Ardianto* ---Ketika menyimak wawancara KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) di Youtube.com, saya senang sekali akhirnya salah satu kiai besar NU yang paling dihormati di Jawa tersebut turut bersuara lantang tentang persoalan besar pula, yakni pertambangan semen di kawasan Kendeng.
<>
Selama ini jarang sekali ada tokoh nasional yang berani bersuara lantang terhadap isu-isu lokal macam ini. Mereka sibuk hilir mudik membela KPK dari bahaya cengkraman mafia-mafia korupsi, karena memang itu sedang hit di media massa. Tidak sekedar cerewet di media sosial, mereka juga menggelar berbagai konferensi pers untuk menyatakan dukungan terhadap KPK.
Bagi saya, ini sebuah pilihan, apakah mesti cerewet persoalan lokal atau persoalan yang berada di Jakarta. Hanya, saya agak risau jika para tokoh ini lantang betul terhadap persoalan di Jakarta, sementara persoalan di tingkatan lokal yang secara geografis dekat malah melempem atau tidak ada suara sama sekali.
Tulisan ini tidak bermaksud menaifkan mereka yang bersuara kencang tentang persoalan-persoalan di Jakarta. Saya hanya ingin mengajak segenap pihak untuk ikut ambil bagian dalam barisan menyelamatkan gunung-gunung kapur di Jawa, khususnya dari ancaman pertambangan yang membabi buta. Jawa sudah berjubel manusia. Ancaman lingkungan mulai muncul satu per satu. Gunung-gunung mulai dikeruk, hutan-hutan sudah digunduli, dan air sudah banyak yang yang diprivatisasi. Bencana lumpur Lapindo, dimana nasib ribuan orang kehilangan segalanya dan hingga kini tidak jelas penyelesaiannya, seolah belum cukup memberi pelajaran pada kita semua. Dengan seluruh kebebalan yang tak terperikan, kita seolah menunggu lubang-lubang besar muncul terlebih dahulu seperti di Kalimantan atau di Papua (seperti Freeport) sebelum kita benar-benar mau bergerak.
Kembali ke wawancara Gus Mus, saya merasa perlu melakukan tafsir atau sepenggal penjelasan tentang isi wawancara di youtube itu. Bagi saya, semua jawaban Gus Mus sudah make sense betul dengan logika berfikir saya. Ini lantaran saya juga sedang mendalami persoalan yang sama: permasalahan penambangan semen di kawasan Kendeng. Namun, karena motif saya ingin mengajak segenap pihak terlibat dan ambil bagian dalam persoalan ini, saya akan menafsirkan dan memberikan catatan tambahan, agar wawancara Gus Mus tentang Pabrik Semen bisa dicerna lebih jernih oleh pihak atau publik yang lebih luas.
***
(Pertama)
Gus Mus: Ini persoalan lingkungan itu mestinya harus menyeluruh. Jangan di Pati selesai, lalu pindah ke Rembang. Rembang selesai, nanti pindah ke Purwodadi. Selalu pindah, begitu terus. Itu akan memusingkan rakyat! Iya kan. Harus ada planning, ada kebijaksanaan yang umum. Pokoknya kalau merusak lingkungan tidak boleh. Itu yang saya inginkan. Jadi, nanti sekaligus untuk tidak bisa pindah-pindah ke tempat lain. Itu menurut saya. Makanya saya pesankan Mas Manaf, Mas Yahya supaya menyampaikan kepada pihak-pihak atasan sana. Tidak hanya ini saja, juga banyak sekali penambang-penambang liar yang lain yang merusak lingkungan,kadang-kadang tanpa izin.
Penjelasan:
Rencana pengerukan kawasan Kendeng—baik di Pati, Purwodadi, maupun Rembang— sudah disiapkan sejak lama. Di tahun 2006, PT. Semen Gresik (sekarang PT. Semen Indonesia) pernah berencana mengeruk bahan baku semen di Sukolilo, Pati. Namun, karena besarnya gerakan sosial yang menolak rencana pertambangan itu dan hasil keputusan PTUN di Mahkamah Agung tahun 2009, akhirnya salah satu perusahaan BUMN ini angkat kaki dari Pati. Sayang, rakyat benar-benar dipusingkan ulah para pejabat yang gampang sekali memberi izin pertambangan. Entah karena motif apa izin-izin ini mudah sekali keluar meski masyarakat setempat sangat keras menetangnya. Di tahun 2010, anak perusahan Indocement mengajukan izin serupa di kecamatan lain, yakni di Kayen dan Tambakromo, di Pati. Sedangkan PT. Semen Indonesia yang gagal berinvestasi di Pati, mendapat izin penambangan di Rembang. Saat ini, selain dua perusahaan besar tersebut, kawasan pegunungan Kendeng sedang diserbu perusahaan-perusahaan semen. Beberapa diantaranya adalah: PT. Semen Grobogan, PT. Vanda Prima Lestari, PT. Holcim, PT. Ultratec Mining, dan banyak lagi yang rencananya akan mengeruk jutaan ton kapur per tahun di kawasan Kendeng, terutama di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan. Ibarat semut, perusahaan-perusahaan ini saling berebut dan mengkapling-kapling kawasan Kendeng untuk eksploitasi pertambangan.
Di Rembang sendiri penambangan kapur sebenarnya sudah ada cukup lama. Di sekitar desa Tegaldowo dan Tahunan saja, saat ini ada sekitar sembilan perusahaan penambang kapur. Perusahaan-perusahaan inilah yang sebenarnya ikut disentil oleh Gus Mus. Bagaimana proses perizinan perusahaan-perusahaan ini diberikan tidak diketahui publik sama sekali. Apalagi diantara perusahaan itu terdapat perusahaan mantan Bupati Rembang yang saat ini menjadi pesakitan dalamkasus korupsi. Meledaknya penolakan dan protes rencana penambangan PT. SI merupakan kulminasi dari abainya pemerintah menjalankan kebijakan yang transparan dan akuntabel, bahkan cenderung serampangan memberikan izin lingkungan tanpa mengajak warga sekitar.
Oleh karena itu, rasa penasaran Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jateng yang mengesankan bahwa dirinya merasa bingung dengan aksi penolakan warga tentu sangat tidak mendasar. Menurut Ganjar dulu, “penambangan itu sudah puluhan tahun (ada di Rembang), …jadi sebenarnya saya penasaran saja kenapa protes?”. Pernyataan ini jelas sekali mengesankan ada yang salah dengan rakyat, dan di saat bersamaan juga membangun kesan yang kencang sekali bahwa rakyat diprovokasi orang luar. Dulu saya juga merasakan kesan itu karena saya juga termasuk orang luar yang masuk area konflik. Ganjar jelas pura-pura lupa bahwa yang bermasalah adalah negara sendiri, mengapa izin-izin pertambangan serampangan diberikan tanpa membuka ruang dialog dengan warga sekitar kawasan tambang.
(Kedua)
Penanya: Dengan cara apa kami melawan?
Gus Mus: Dengan kesederhanaan.Kita harus lawan dengan gaya hidup sederhana. Gaya hidup menyenangi materi berlebih-lebihan akibatnya merusak.
Penjelasan:
Gus Mus adalah kiai besar kharismatik di Jawa yang tinggal di Rembang, juga seorang Rais Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Petuah-petuahnya selalu menjadi obor penerang sekaligus spirit hidup bagi kalangan Nahdliyin.Jadi wajar jika penanya meminta petuah terhadap para kiai, karena demikianlah tradisi NU umumnya berlangsung. Adapun ibu-ibu di Gunem yang tinggal di tenda sebagian besar merupakan warga Nahdliyin. Petuah “melawan dengan kesederhanaan” merupakan jawaban bernas dan tepat sekali dalam konteks protes menolak tambang. Sebab, di kawasan itu, politik pecah belah (devide et impera) berlangsung kencang melalui instrumen uang (materi). Tidak hanya muncul demonstrasi bayaran pro-pertambangan, namun banyak juga tokoh-tokoh setempat yang pro-investasi akibat distribusi materi yang diberikan oleh perusahaan. Hal semacam ini jamak terjadi dalam rencana investasi pertambangan.
“Melawan dengan kesederhanaan” sama artinya dengan menjaga moralitas warga penolak agar tetap kokoh menyuarakan penyelamatan lingkungan. Menyenangi materi secara berlebihan, yang dilakukan oleh segelintir orang, hanya akan menyeret pada penderitaan yang lebih besar dan luas. Warga yang sebagian besar merupakan petani, tentu akan kehilangan daya penopang hidupnya jika alam sekitar dikeruk jutaan ton pertahunnya. Kenyataan ini nampaknya betul-betul disadari betul oleh Gus Mus sehingga beliau memberikan petuah semacam itu. Sekali saja orang-orang mencintai materi secara berlebihan, maka apapun profesinya (pejabat, ustad, atau warga) akan terseret pada kesengsaraan yang lebih besar. Itulah makna dibalik “melawan dengan kesederhanaan”.
(Ketiga)
Penanya: Apakah ada pesan untuk ibu-ibu Rembang yang masih bertahan di tenda demi menyelamatkan lingkungan dan kehidupan?
Gus Mus: Mudah-mudahan niat yang baik, mendapat balasan dari Tuhan, dan diberi kekuatan lahir batin. Sambil berjuang secara lahiriah, juga berdoa secara batiniah. Dua-duanya dikerjakan. Jangan ikhtiar lahir saja, tapi ikhtiar batin juga.
Penjelasan:
Saya merasa ini bukan sekedar jawaban sederhana.Bagi saya inilah jawaban paling presisi dalam melihat persoalan. Perjuangan lahiriah dan batiniah merupakan dua ikhtiar yang harus dilakukan warga di Rembang. Akibat kerasnya konflik yang berlangsung, saya melihat masalah terbesar yang dihadapi warga saat ini adalah daya tahan mereka dalam waktu lama melawan kekuatan besar dari koporasi dan pejabat-pejabat “tuli” yang tak punya kemampuan mendengar aspirasi rakyat. Secara lahiriah, mereka telah berjuang mati-matian, mulai dari tinggal di tenda selama 263 hari (hingga sekarang), puluhan kali demonstrasi, hingga mendapat hinaan dan ejekan dari lingkungan sekitar. Belum lagi, praktik pecah belah (adu domba) telah membuyarkan ketentraman hidup mereka sehari-hari, bahkan ada yang merusak rumah tangga. Kondisi-kondisi semacam itu jelas tidak merusak fisik, tapi mengancam keteguhan batin. Inilah alasan mengapa Gus Mus memberikan pesan agar perjuangan lahir dan batin selalu beriringan
(Keempat)
Penanya: Apakah ada saran untuk pemerintah terkait tambang perusak lingkungan?
Gus Mus: Pokoknya kalau merusak lingkungan itu mestinya harus tidak boleh. Pemerintah harus melindungi lingkungan hidup. Untuk apa ada menteri lingkungan hidup. Menteri lingkungan itu kan untuk menjaga lingkungan, dan merawat lingkungan. Kalau Kementerian lingkungan tidak merawat lingkungan, terus siapa yang merawat.
Penjelasan:
Jawaban Gus Mus ini sebenarnya merupakan pengingat akan peran dan fungsi masing-masing pihak. Saya rasa, Gus Mus menyadari betul kenyataan bahwa pasca Reformasi fungsi dan peran negara telahbergeser ke arah yang keliru. Saya yang belajar ilmu politik, melihat kecenderungan ada praktik-praktik bossism, local strongmen, shadow state, dan segala hal buruk tentang pengelolaan negara. Inilah yang kembali diingatkan Gus Mus. Kementerian lingkungan hidup harus jelas menunjukkan pembelaannya terhadap keberlangsungan lingkungan. Apalagi, warga di Rembang sudah pernah mengadu secara langsung pada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup, bahkan kepada Jokowi ketika dirinya belum dilantik sebagai presiden. Sayangnya, janji-janji penyelesaian itu tak pernah mendapat respon konkret, baik dari Siti Nurbaya maupun Jokowi selaku pemimpin politik tertinggi di negeri ini.
Di luar kementerian lingkungan, saya kira pesan ini juga disampaikan pada seluruh pejabat negara. Gubernur/bupati yang dipilih rakyat, harus mau mendengar apa menjadi aspirasi rakyat, bukan teguh pada kebebalannya sendiri akibat tersandera kepentingan-kepentingan yang berseberangan dengan kehendak rakyat. Apalagi, posisi Ganjar selaku gubenur Jateng ini agak unik. Hampir sebagian besar warga penolak tambang di Jateng, terutama di Rembang, Pati, Grobogan, Blora, dulunya adalah tim sukses Ganjar di tingkat bawah (grassroot). Mereka aktif bergerak mencari suara di desa-desa. Kesadaran mendukung Ganjar sangat masuk akal karena saat itu lawan dalam Pilkada adalah Bibit Waluyo, yang merupakan musuh bersama (common enemy) warga penolak tambang. Bibit dikenal sebagai Gubenur yang memberikan izin-izin tambang semen pada korporasi besar, dan dalam kasus Pati, Bibit menggunakan pendekatan militeristik dalam menundukkan warga penolak, bahkan mengkriminalisasi warga penolak tambang.
***
Demikianlah tafsir saya membaca wawancara Gus Mus mengupas persoalan pabrik semen di Rembang. Saya memahami wawancara ini sebagai seruan penyelamatan lingkungan yang dilakukan Gus Mus. Seruan ini, tidak saja ditujukan pada warga agar tetap teguh lahir-batin menjaga kelestarian kawasan Kendeng, namun juga ditujukanpada para pejabat yang keliru dalam menjalankan peran dan fungsi yang mestinya mereka jalankan. Secara pribadi, seruan ini saya titipkan pada kawan-kawan saya: para akademisi, aktivis LSM, maupun gerakan mahasiswa untuk ambil bagian menyelamatkan gunung-gunung kapur di Jawa dari kehancuran akibat operasi pertambangan semen.
Hendra Try Ardianto, pegiat di Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam(FNKSDA)