Opini

Superioritas Kaum Urban dalam Pendidikan di Kota-Kota Besar

Selasa, 1 Oktober 2013 | 01:01 WIB

Pada dasarnya, saya bukanlah orang yang mempunyai basis keilmuan sebagai aktivis atau pengamat dunia pendidikan. Saya juga tidak pernah memperoleh kuliah formal dalam bidang kajian pendidikan. Namun, lewat tulisan singkat ini, saya ingin mengekspresikan suara hati saya yang menyeruak tatkala menyaksikan fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar.
<>
Namun sebelumnya, saya ingin menjelaskan bahwa tulisan ini bukanlah hasil penelitian yang dipenuhi data-data akurat, sebab saya memang belum terjun langsung untuk meneliti sepenuhnya problem ini. Oleh sebab itu, data-data yang saya paparkan nanti hanya berkutat pada fenomena-fenomena yang terlihat oleh kedua mata saya atau yang sifatnya hipotesis belaka.

Tema yang saya angkat adalah mengenai pendidikan bagi kaum pribumi dan urban di kota-kota Besar. Tentu saja saya tidak akan melihat secara keseluruhan bagaimana dinamika pendidikan yang terjadi di semua kota besar. Dalam konteks ini, saya hanya membuat sebuah generalisasi umum dari kasus spesifik lazimnya penelitian-penelitian yang biasa ada. Tulisan lepas ini berusaha mengangkat fenomena yang terjadi di kota yang saya tinggali sekarang, Yogyakarta. Dalam benak saya, apa yang terjadi di Yogyakarta kurang lebih sama seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya, sehingga membuat saya berani melakukan generalisasi.

Suatu saat, hati saya terenyuh ketika salah seorang teman saya yang asli Jogja berujar “Jogja memang kota pelajar, tapi untuk warga pendatang dan bukan untuk warga pribuminya”. Pasca mendengar ucapan tersebut, saya baru sadar bahwa kota Jogja memang menawarkan beratus-ratus Universitas terkemuka, baik yang Negeri maupun Swasta, sehingga mendapatkan julukan sebagai Kota Pelajar. Namun ironisnya, gegap gempita dunia pendidikan itu ternyata mayoritas hanya dinikmati oleh warga pendatang (urban) dan bukan penduduk pribuminya. Warga Pendatang itu datang dari segala penjuru daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Memang boleh jadi statemen teman saya hanyalah opini yang sifatnya subjektif belaka. Akan tetapi ketika melihat bagaimana latar belakang pendidikan beberapa teman saya yang asli warga Jogja, begitu pula orang yang berujar di atas, maka hal itu pun menenggelamkan pikiran saya mengenai subjektifitas statemen tersebut.

Perlu diketahui bahwa teman saya yang mengeluarkan statemen di atas adalah warga asli Jogja yang hanya berpendidikan SMP saja. Selain itu, saya juga mempunyai banyak teman asli Jogja yang hanya tamatan SD, SMP maupun SMA, dan jarang yang sampai melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Saya memang mahasiswa salah satu Universitas terkemuka di Yogyakarta, tetapi hal itu tidak dapat membelenggu saya untuk berinteraksi dengan komunitas manapun. Sehingga dengan demikian, saya punya banyak relasi teman, baik yang notabenenya adalah anak kampus maupun non-kampus. Dan dari situlah wawasan tentang kota Jogja sedikit demi sedikit mulai terbuka.

Realitas yang dialami oleh warga pribumi Jogja tersebut bertolak belakang dengan yang terjadi pada warga pendatang atau urban. Mereka secara hitungan mayoritas, dalam pengamatan saya, berhasil menduduki kota Jogja dan menguasai berbagai isntitusi pendidikan di kota ini. Saya rasa akan kesulitan untuk bertemu warga pribumi Jogja yang dapat menginjakkan kakinya di bangku perkuliahan, sebab berjubelnya mahasiswa non-pribumi.

Memang saya termasuk salah satu di antaranya, sebab saya berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi saya merasa terdapat sebuah ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendidikan di kota Jogja. Mengapa warga pribumi yang notabenenya adalah penguasa tempat itu menjadi seakan tergusur dari tanahnya sendiri? Mengapa warga Pendatang kian dahsyatnya menancapkan cakarnya di Jogja?

Saya sadari, mungkin adanya ketimpangan seperti itu karena perbedaan kapasitas intelektual (IQ) dan emosional (EQ) yang dimiliki kaum pribumi dan kaum urban. Menurut hemat saya, setiap orang yang pindah ke kota-kota besar pasti mempunyai modal kecerdasan yang cukup atau semangat yang menggebu-gebu untuk selalu berjuang. Dengan hal itulah kaum urban akan mendapatkan kesuksesan di tempat tinggal baru mereka. Modal inilah yang kurang dimiliki oleh warga pribumi Jogja (dengan tidak mengatakan keseluruhan), sehingga eksistensi mereka secara mudah dapat dikalahkan oleh warga pendatang.

Menurut apa yang saya amati, sebagian warga pribumi seakan malas untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebab mereka beranggapan bahwa pekerjaan di Jogja sangat melimpah dan banyak ragamnya. Sehingga tidak perlu lagi kuliah yang hanya akan menghabiskan uang. Yang terpenting bagi mereka dalam hidup bukanlah kuliah, tetapi bagaimana dapat bekerja untuk menyambung hidup dan menghidupi keluarga.

Adanya ketimpangan ini, menurut saya akan menimbulkan dua problem lanjutan yang menimpa warga pribumi Jogja. Pertama, minimnya warga pribumi Jogja yang bisa mengisi titik-titik penting dalam dunia bisnis di Jogja. Disebabkan karena mereka hanya pernah mengenyam pendidikan tingkat dasar, maka mereka dirasa lebih layak bila dijadikan sebagai tukang parkir serta pekerjaan-pekerjaan yang mendapatlan gaji rendah lainnya. Ini tentunya mengakibatkan seakan mereka terusir dari daerahnya sendiri.

Kedua, maraknya aksi premanisme di Jogja. Jika mengumbar kata preman, mungkin pikiran kita akan tertuju pada Ibukota Jakarta, sebab di sana berjubel preman-preman dengan tubuh kekar yang siap melancarkan aksinya. Namun, dalam pengihatan penulis, tidak hanya Jakarta yang penuh dengan aksi-aksi premanisne, tetapi Jogja juga penuh dengan aksi-aksi demikian. Hanya saja, media kurang mengekpsos fenomena ini.

Hal ini dapat dipahami, sebab Jogja bukanlah pusat pemerintahan, ia hanya salah satu Daerah Istimewa yang biasa dipandang sebagai kota damai. Padahal sepenuhnya tidaklah demikian yang terjadi. Di beberapa titik di pusat kota, seseorang tidak bisa dengan bebas membangun usahanya, terutama lagi PKL (Pedagang Kaki Lima). Mereka diharuskan membayar ‘upeti’ pada preman yang menguasai daerah itu.

Munculnya premanisme tersebut sangat dimungkinkan karena kualitas pendidikan yang diterima warga pribumi cukup rendah, sehingga mereka lebih suka menjadi preman, yang sudah pasti dapat menghasilkan uang lebih daripada hanya menjalani pekerjaan seperti biasa pada umumnya. Dari informasi yang diterima penulis, mayoritas preman di Jogja adalah penduduk pribumi yang bertempat tinggal di sana.

Dengan demikian, perlu adanya solusi atas problem di atas, sehingga warga pribumi Jogja dan kota-kota besar lainnya yang mendapatkan nasib serupa dapat memperoleh kedudukan yang pantas di tempat tinggalnya sendiri. Atau dengan kata lain, mereka bisa menunjukkan eksistensinya sebagai penduduk asli daerahnya sendiri, sehingga kesejahteraan mereka dapat lebih terjamin.          



* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



Terkait