Opini

Spirit Nuzulul Qur’an dalam Tradisi Membaca

Selasa, 8 September 2009 | 13:55 WIB

Oleh: Aris Hasyim*

Salah satu peristiwa bersejarah yang memiliki posisi agung dan monumental dalam umat Islam di Bulan Ramadhan adalah Nuzulul Qur’an. Nuzulul Qur’an merupakan peristiwa turunnya Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sewaktu melakukan khalwat (menyendiri) di gua hira’ bertepatan dengan hari ke 17 bulan Ramadhan. Disini Nabi Muhammad menghabiskan aktifitasnya dalam ketaatan dan perenungan secara mendalam (takhannus).

Melalui malaikat Jibril, Nabi Muhammad menerima wahyu Al-Qur’an pertama kali sebanyak lima ayat dalam surat al-Alaq. Ayat tersebut berbunyi; “Bacalah dengan nama tuhanmu, manusia diciptakan dari air mani. Bacalah dan tuhanmu muliakanlah. Dia yang telah mengajari manusia dengan pena. Mengajari manusia dari yang tidak diketahuinya”. Ayat ini memiliki kandungan makna yang luas dan efektif untuk meneguhkan spirit membaca.<>

Muhammad Husain Al-Thabathaba’i seorang tokoh ulama besar Syi’ah  menyatakan bahwa sejarah turunya Al-Qur’an demikian jelas dan terbuka, ia dibaca oleh kaum muslimin  sejak dahulu sampai sekarang. Sehingga pada hakekatnya Al-Qur’an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keontetikanya. Kitab suci ini memperkenalkan dirinya sebagai firman Allah dan siapapun tidak ada yang mampu untuk menyusun seperti keadaanya.

Hal ini sekiranya bisa dijadikan sebagai bahan pelajaran bagi kaum muslimin dan khususnsya para pemimpin dituntut untuk bisa mengambil hikmah dari keteladanan Rasulallah, dalam peristiwa Nuzulul Qur’an untuk mentradisikan samangat membaca.

Perintah Membaca

Momentum peringatan Nuzulul Qur’an ini dapat dijadikan Motivasi bagi umat Islam, khususnya pemimpin baru dalam menggalakkan tradisi baca. Apa yang dilakukan Nabi Muhamad selaku pemimpin dalam menjalankan tugas kenabianya sampai berkholwat di gua demi mendapatkan petunjuk Allah untuk kebaikan umatnya.

Melalui surat al-Alaq yang didalamnya terdapat pesan membaca. “bacalah”. Begitu bunyi terjemahan ayat pertama kali yang diturunkan. Bila kita amati secara saksama, perintah tersebut sangatlah penting bagi pemimpin baru untuk membumikan tradisi baca. Berawal dari membaca manusia akan mengukir sejarah hidupnya, manusia pandai berawal dari membaca dan  siapa yang sukses berawal dari membaca.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara peristiwa Nuzulul Qur’an merupakan petunjuk dan isyarat bagi pemimpin untuk membumikan semangat membaca bagi semua rakyatnya. Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang mau berkontemplasi keadaan yang menimpa bangsa ini untuk mencari solusi terbaik dalam menjalankan ketatakenegaraan. Kegalauan masyarakat Indonesia yang sudah puluhan tahun merdeka dan kaya akan sumber daya manusia, selalu bertanya-tanya kenapa negara kita belum maju- maju? Sedangkan di negeri tetanga yang notabenya jauh lebih kecil bisa maju dibanding negara kita?

Persoalan demikian memang wajar dilontarkan rakyat yang merindukan kemajuan dan kesejahteran. Namun, mayoritas masyarakat indonesia  pada umumnya susah diajak berlari dari ketertinggalan menuju kesejahteraan. Bahkan tinggal menjalankan gagasan  yang terbaik dari pemerintah di klaim hal yang sia-sia. Jika benar seperti itu , bangsa ini terbukti “kurang membaca”. Inilah problem bagaimana pemerintah bisa membudayakan semangat membaca bagi seluruh rakyatnya.

Tradisi seperti itu harus segera dihilangkan. Dengan menghadirkan agenda kedepan yang lebih bermutu yaitu membudayakan membaca. Jangan sampai bangsa ini terlalu tidur berlarut-larut. Hinga malas membaca, berfikir dan tidak mau mengapresiasikan  kreativitas yang sesunguhya berguna bagi bangsa. Belajar dari keadaan itu, tradisi membaca harus ditopang dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Ada beberapa hal yang harus dibenahi pemerintah untuk membudayakan membaca.

Pertama, alangkah baiknya pemerintah meratakan pembangunan perpustakaan yang diintensifkan di pedesaan hinga kepelosok. Di sini pemerintah tidak hanya peduli dengan rakyat kota akan tetapi rakyat pedesaan juga bisa menikmatinya. Sehingga minat membaca akan tumbuh membudaya dan bergairah dengan adanya perpustakaan tersebut. Program itu serasa ada ketimpangan bila tidak diimbangi dengan sosialisasi kepada rakyat langsung. Guna mengugah masyarakat akan pentingnya membaca.

Gagasan tersebut sudah terjalankan oleh Harun ar-Rasyid di negeri seribu bulan dengan membangun perpustakaan yang dinamai Baitul Hikmah. Terbukti Harun al-Rasyid mampu menghadirkan kekhalifahan Abassiyah yang menjadi tonggak perdapan dunia paling monumental.

Kedua, mentradisikan cinta pada buku. Pemimpin kreatif adalah pemimpin yang selalu membuat otobiografi sebagai bukti kecintaan pada budaya membaca buku. Agenda ini sudah di buktikan oleh seorang pemimpin dari India yang bernama Jawaharhal Nehru. Semangat membacanya serta semangat mencintai buku sudah menjadi makanan pokok keseharianya. Maka tak heran, India sekarang menjadi penghasil buku terbesar di dunia sekaligus rakyatnya tertular keteladanan dari seorang pemimpin yang setia mencintai buku.

Maka tak salah pendapat Gola Gong (2006) menilai bahwa hanya dengan buku kita dapat mengenggam dunia, menjelajah seluruh pemikiran dan imajinsi yang terhampar di jagat raya. Intisari terpenting dari peristiwa Nuzulul Qur’an adalah Nabi Muhamad satu-satunya nabi yang menerima wahyu Al-Qur’an. Adapun surat al-Alaq (Iqro’) atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW. Kata ini sedemikian penting hingga di ulang dua kali dalam surah al-Alaq.

Perintah membaca tidak hanya di tujukan kepada pribadi Nabi Muhamad Saw semata. Melainkan juga untuk umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Karena realisasi perintah membaca merupakan kunci membuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrowi. Dari situlah pesan bagi umat islam khususnya para pemimpin bangsa untuk membumikan semangat membaca bagi seluruh rakyatnya. Hal yang sedemikian itu juga perintah dari Allah SWT yang dimu’jizatkan kepada Nabi Muhammad untuk di sampaikan umat manusia, dimana dan kapanpun hingga akhir zaman.

*Penulis adalah pengamat sosial dan staf peneliti pada lembaga kajian KUTUB, Yogyakarta (LKKY)


Terkait