Endin AJ Soefihara
Keluarga Besar NU dan Ketua FPPP DPR RI
<>
Di atas kertas, perhelatan Muktamar ke-31 Nahdlatul Ulama (NU) di Boyolali, Jawa Tengah, kemarin membuahkan konflik internal. Hal ini tak lepas dari sikap KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang siap mendirikan NU tandingan, bahkan siap menduduki Kantor PBNU di Jl Kramat Raya, Jakarta. Yang perlu kita teropong, akan terjadikah konflik internal itu, apalagi berkepanjangan dan serius?
Kebanyakan pihak cenderung menilai Gus Dur memang ''bermagnet'' tinggi di tengah massa NU. Apa pun yang dilakukannya cenderung diikuti oleh sebagian besar warganya bahkan mendapat respon positif sejumlah pihak di luar NU. Dukungan kuat ini menjadikan Gus Dur --terutama para inner circle-nya-- terus melakukan perlawanan terhadap KH Hasyim Muzadi dan kubunya. Perlawanan ini, atas dasar legalisasi yang dikantungi dari forum Muktamar Boyolali, akan dijawab. Inilah kondisi yang menjustifikasi konflik internal sulit dihindari.
Kita perlu menggaris bawahi bahwa andaikan konflik itu sungguh terjadi, maka, pertama, NU akan menjadi tontonan publik secara mengenaskan, baik publik domestik ataupun internasional. Di antara sebagian publik itu mungkin terlontar penilaian yang tidak proporsional: sebegitu rendahnya NU dalam mencapai kepentingan sempitnya. Pernyataan seperti ini jelaslah merendahkan martabat ormas dan pribadi NU. Namun, pernyataan ini relatif sulit dibantah karena berangkat dari realitas konflik yang terjadi.
Kedua, dampak konflik internal akan memperlemah politik NU ke depan. Logika politiknya, ketika semua kekuatan politik sibuk mengatur sejumlah strategi untuk menghadapi medan kompetisi yang ada dan kian ketat, justru keluarga NU tersedot perhatian dan tenaganya untuk menyelesaikan masalah internalnya. Praktis, dalam diri NU kehilangan waktu dan banyak hal yang semestinya dicurahkan untuk menghadapi kekuatan sejumlah lawan politik lainnya.
Ketiga, jika konflik itu benar-benar terjadi dan berkepanjangan, bukan tidak mungkin akan terjadi ''agresi'' dari kekuatan lain dalam kerangka mengkooptasi sejumlah figur NU. Hal inilah sebenarnya yang harus dirisaukan oleh keluarga besar NU. Pendek kata, NU ke depan akan menjadi bancakan. Jika hal ini terjadi, NU akan kehilangan posisi tawarnya dalam pentas perpolitikan nasional.
Penulis sangat yakin, Gus Dur tidak rela pemandangan pahit itu terjadi di tengah NU. Landasannya, sebagai pewaris sah dari pendiri NU dan sangat mencintai dan loyal, bahkan punya integritas tinggi terhadap ormas sosial-keagamaan terbesar di Indonesia ini, tidaklah mungkin tega melihat NU porakporanda hanya karena kekecewaan yang kini dihadapinya. Karena itu,penulis juga yakin bahwa Gus Dur sebenarnya tidak menghendaki konflik berkepanjangan itu. Dari keyakinan ini, penulis memperkirakan bahwa tekad mendirikan NU tandingan, kalau itu benar, merupakan reaksi sesaat di luar kontrol kesadarannya. Dalam hal ini, apa yang terlontar dalam tekad destruktif itu tak lepas dari inner circle Gus Dur yang menghembuskan ide-ide yang mencelakakan.
Kita mengetahui bahwa lingkaran Gus Dur (para inner circle) itu bukan hanya dari NU. Sebagai tabiat inner circle --dari kelompok manapun-- terus berusaha mencari sesuatu untuk kepentingan sempit pribadi dan atau kelompoknya, tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas dari orang yang ditempelnya. Dengan tabiat seperti ini, mereka tak akan mempersoalkan atau tak mempedulikan sejumlah akibat atau risiko yang bakal dirasakan Gus Dur, bahkan keluarga besarnya (nahdliyyin).
Mencermati tabiat inner circle itu --dan hal ini haruslah menjadi tanggung jawab seluruh keluarga besar NU-- semua pihak yang sayang terhadap NU harus lebih memperhatikan apa dan bagaimana yang dilakukan orang-orang yang melingkari Gus Dur itu. Sebagai rasa cinta yang mendalam dan respek terhadap Gus Dur, para inner circle haruslah diingatkan: janganlah menjebak Gus Dur untuk memasuki sebuah permainan yang berpotensi merusak jatidiri Gus Dur itu sendiri dan keluarga besar NU yang sangat dicintai Gus Dur; janganlah merusak kualitas dan komitmen Gus Dur yang setia memp