Opini

Satu Suara Partai NU di Pangkalan Militer

Ahad, 18 November 2018 | 13:00 WIB

Satu Suara Partai NU di Pangkalan Militer

Para kiai di kantor HBNO (sekarang PBNU) di Bubutan Surabaya

Oleh Nawawi  A. Manan

Pada pemilu 1971 di Kabupaten Sidoarjo terjadi peristiwa mencengangkan: di tempat pemungutan suara (TPS) yang semua pemilihnya keluarga  pangkalan   militer, dan  panitianya  para  pegawai negeri sipil (PNS), Partai NU mendapat 2 suara. Satu  suara jelas, dari  saksi Partai NU, satu suara yang lain? 

Peristiwa itu terulang pada pemilu 1977 setelah Partai NU  bersama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah  (Perti) dikubur oleh penguasa orde baru dalam   Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Tidak sulit  bagi komandan pangkalan  untuk menemukan pemilik suara tersebut. Tanpa mengerahkan satuan intelijen, sang komandan bisa menyimpulkan bahwa keluarga besarnya yang memilih Partai NU adalah istri Sersan Mayor (Serma) Fulan. Semua prajurit di pangkalan itu sangat paham bahwa Serma Fulan adalah  santri tulen dan amat sangat setia kepada korps asalnya: Nahdlatul Ulama (NU).

Meski sudah bertahun-tahun menjadi prajurit, jati diri Serma Fulan sebagai santri tidak berubah. Wajahnya selalu teduh dan berseri. Jika menggunakan kopyah hitam selalu dimiringkan ke kiri,  seperti letak kopiah  Kepala Madrasah Nahdlatul Wathan  KH Mas Alwi Abdul Aziz atau Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo – sebagai simbol keberpihakan kepada kaum lemah.  Jika berjalan  kepalanya menunduk seperti  ahli nahwu, tawadhu’ seperti Raden Gatotkaca.

Serma Fulan memang ngawur. Ketika semua keluarga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI – sekarang TNI) dimobilisasi  habis-habisan agar mendukung Golongan Karya (Golkar) untuk memperkuat kepemimpinan Soeharto, ia tetap setia kepada  NU.  Akibatnya, ketika semua teman seangkatannya sudah berpangkat perwira dia  tetap menjadi bintara, hingga pensiun. 

Pada masa  Orde Baru, semua orang yang hidup di dalam pangkalan militer harus monoloyalitas kepada Golkar.  Bagi umat Islam,  dalam amaliyah  ubudiyah juga harus monoloyalitas karena amaliyah  warga Nahdliyin diharamkan. Sehingga, selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, warga Nahdliyin di lingkungan semua perkampungan TNI   hanya bisa melaksanakan amaliyahnya secara nafsi-nafsi.

Keadaan tersebut mulai mencair setelah Ibu Tien Soeharto wafat pada 28 April 1996. Kantor-kantor pemerintah yang semula mengharamkan tahlilan ikut menggelar tahlilan  seperti dilaksanakan keluarga Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Keadaan benar-benar berubah setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto sejak 1998.

Ketika sedang punya hajat, banyak tentara berlatar belakang keluarga NU mengundang warga desa terdekat untuk istighotsah, tahlilan,  dan shalawatan dengan  iringan rebana prok-brik. Mereka tidak ragu menunjukkan jati dirinya sebagai warga Nahdliyin.  
Perubahan itu sungguh luar biasa karena para kader yang telah lama terpisah oleh sistem tirani politik menyatu kembali dengan keluarga besarnya dalam naungan rumah besarnya, meskipun hanya secara kultural psikologis. 

Sayangnya, perlahan-lahan mereka terpisah kembali, kemudian terputus. Di perkampungan  TNI itu sekarang tak lagi pernah terdengar lantunan shalawat Nabi. Penyebabnya bukan faktor represif eksternal, melainkan ngawurisme politik internal. Karena ketidaktahuan dan ketinggian tensi syahwatnya,  banyak kader NU -- terutama  kader mualaf dan naturalisasi – yang sedang berebut rezeki melalui jalur politik praktis  tidak bisa menghormati NU sebagai jam’iyyah diniyah ijtimaiyah. 

Pada setiap perhelatan politik, struktur NU mulai atas hingga paling bawah difungsikan sebagai alat pendulang suara. Statusnya  sebagai ormas memang tidak pernah berubah, tetapi pada setiap hajatan politik NU memainkan fungsi politik. Sehingga, para jamaah NU – terutama yang selama ini bertebaran di mana-mana --  menganggap  NU adalah organisasi politik. 

Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) yang dilaksanakan untuk menyiapkan kader-kader NU masa depan pun disalahgunakan, diintervensi untuk kepentingan politik segelintir orang – justru oleh orang-orang  yang mestinya melindungi kemurnian PKPNU.

Ketika menyampaikan pidato iftitah pada Muktamar NU XXVIII 1989 di Krapyak, Yogyakarta, Rais Aam PBNU KH Achmad Siddiq mengibaratkan   NU sebagai kereta api yang trayeknya sudah jelas, begitu pula relnya serta syarat untuk menjadi petugasnya. NU bukan taksi yang bisa dibawa ke mana saja oleh penumpang yang membayarnya. Pengurus NU boleh berganti dan kebijakannya boleh disempurnakan, tetapi trayek NU sebagai organisasi keagamaan tidak bisa diubah. 

NU bukan organisasi sembarangan karena kelahirannya merupakan “jawaban” Allah SWT  terhadap munajat Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari, serta  para ulama zahid dan wara’ yang resah gelisah oleh penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan serta ulah kaum Wahabi yang ingin menghapus ajaran madzahabil arba’ah.  NU-nya memang perkumpulan, tetapi substansinya adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. 

Fahimtum?!

Karena itu, siapa pun yang memfungsikan  NU sebagai mobil omprengan akan menjadi barang rongsokan yang tidak bisa didaur ulang. 


Penulis adalah Dewan Pakar  PC Lesbumi NU  Sidoarjo dan  Instruktur Wilayah Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) Jawa Timur




Terkait