Opini

Santri dan Mahasiswa ; Menyoal Status Ideologi

Ahad, 7 Oktober 2012 | 23:40 WIB

Oleh : Mahrus Sholeh*


Saat mendengar istilah santri tentunya ideologi ini akan tertuju kepada hal yang bersifat tradisional. Mayoritas Istilah santri ini memang identik dengan seorang pelajar pesantren yang berasal dari kalangan orang pedesaan yang sedang menuntut ilmu di pesantren. Dan dari cikal bakal inilah mengapa istilah santri ini bisa dibilang keramat walaupun hanya dengan bekal pengetahuan agama.<>

Namun, istilah santri di Indonesia ini tidak lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Seorang santri di Indonesia adalah sosok yang tak bisa ditinggalkan begitu saja, ia adalah bagian dari sejarah Indonesia ini, mujahid nasional yang berani bertaruh jiwa dan raganya hanya untuk satu kemerdekaan indonesia. Semangatnya dalam berjuang menakuti semua penjajah yang pernah datang ke Indonesia, hingga Snouck Hurgronje belajar cara mengalahkan mereka.

Santri adalah bagian terunik yang pernah hidup di Indonesia, perjalanan hidupnya sangat lain dengan perjalanan hidup manusia-manusia indonesia yang belum pernah nyantri. Ketika berbicara masalah ukhuwwah, santrilah yang tahu. Sebab, mereka sepenanggunan, tidur bersama, makan dalam kebersamaan, bahkan melakukan kejelekan pun juga dilakukan berlandaskan ukhuwwah.

Dalam benak masyarakat tentunya masih terngiang bagaimana seorang santri hanya duduk manis di surau dan masjid serta bilik-bilik pesantren tanpa mengikuti arus perkembangan zaman. Namun, hal tersebut pada zaman sekarang sudah tidak mengakar lebat di benak kalangan masyarakat, sekarang santri sudah lebih maju, lebih berkarakter dan berkualitas serta lebih menunjukkan ideologinya bahwa ia bisa bersaing dengan kalangan orang luar.

Yang sangat dipertanyakan adalah bagaimana jika santri tersebut masuk ke dalam sebuah universitas. Yang memahami bahwa tidak ada kebenaran yang absolut, Pemikiran di universitas yang benar-benar liberal. Semua orang berhak atas pemikirannya sendiri, semua orang berhak menguji hipotesisnya atas problematika yang dilihatnya. Dosen dalam hal ini mungkin kyai, dia hanya menjadi perantara, bukan yang memberi ilmu. Ilmu-ilmu yang berserakan di universitas tidak hanya milik dosen, tapi juga mahasiswa. Artinya disini, kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpikir dan kebebasan berkehendak menjadi sebuah budaya. Jika ketiga hal tersebut tidak ada di mahasiswa, maka itu bukan mahasiswa yang selalu ingin berkehendak merdeka tanpa intimidasi dari manapun.

Benturan ideologi inilah yang kemudian hingga sekarang masih ada sebagian santri yang menjadi mahasiswa. Beruntung, jika santri yang telah menjadi mahasiswa tersebut bisa menyesuaikan diri, artinya setiap perkataan dosennya masih bisa dicerna dengan bagus, tidak ‘dimakan mentah-mentah’. Lantas bagaimana jika santri yang menjadi mahasiswa dan belum menyesuaikan dirinya? 

Seorang santri yang menjadi mahasiswa berarti harus siap untuk menjadi seorang mujtahid, walaupun levelnya tidak seperti 4 orang mujtahid fiqh (Imam Hambal, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi). Tapi setidaknya ini memunculkan kebebasan berpikir. Maka dari itu hendaknya seorang santri bisa bersikap terbuka jika sudah menempati jenjang universitas, bisa menempatkan kredibilitas intelektual pada tempat yang benar serta bisa mengadaptasikan dirinya agar menjadi mahasiswa yang berjiwa santri


*  Penulis Adalah Alumni PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Pembina Tahfidz di UKM-Pengembangan Tahfidz Al-Qur’an IAIN Sunan Ampel Surabaya.


Terkait