Opini

Rumah Ini Selamatkan Warga dari Gempa

Sabtu, 1 September 2018 | 01:45 WIB

Rumah Ini Selamatkan Warga dari Gempa

H Ali Akbar di tangga rumah pohonnya di Dusun Kopang, Medana, Jumat (31/8)

Mataram, NU Online
Sebanyak 250 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa tinggal di Dusun Kopang, Desa Medana, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara. Rumah-rumah mereka yang terbuat dari batu bata, roboh. 

Kepala Desa Medana, H Umar Said mengatakan, dari jumlah rumah yang ada angka kerusakan mencapai 99 persen akibat gempa. Gempa juga mengakibatkan dua orang meninggal dunia.

Salah satu warga yang selamat, H Ali Akbar menuturkan kejadian mencekam pada malam terjadinya gempa berkekuatan 7 SR pada 5 Agustus 2018 lalu. Kala itu pria yang bekerja sebagai petani jambu mete dan coklat ini tengah bersama keluarganya berada di rumah akan menikmati makan malam. Namun tiba-tiba ada guncangan.

“Kejadiannya setelah salat Isya. Saya tinggal sekeluarga di rumah saya mau makan malam Semuanya lari dari rumah. Saya dan keluarga juga meninggalkan makanan yang belum selesai kami makan,” tutur H Akbar, Jumat (31/8).

Hal yang paling mereka pikirkan saat itu adalah lari sejauh-jauhnya dari dusun. Tujuan mereka adalah perbukitan. Hal itu karena ada isu gempa akan disusul tsunami. Dusun Medana sebenarnya berada di daerah dataran tinggi.

“Orang-orang dari daerah pantai sudah pada naik ke sini dan terus ke arah gunung,” kenang H Akbar.

Saat itu malam juga gelap gulita. Mereka berlari ke arah bukit dengan penerangan seadanya, ada juga yang menggunakan lampu sepeda motor. Langkah mereka yang pontang-panting meninggalkan rumah, membuat H Akbar terpisah dengan anggota keluarganya.

“Kami tidak tahu anggota keluarga larinya ke ke mana saja. Jam dua atau jam tiga pagi barulah saya ketemu anak. Sampai pagi tidak bisa tidur karena ada isu tsunami,” kisahnya lagi.

H Akbar belakangan tahu isu tsunami muncul dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

H Akbar termasuk beruntung, sebab walau rumah utamanya turut hancur, ia memiliki rumah lain yang sama sekali tidak terganggu oleh adanya gempa. Rumah ini berupa panggung dengan sebuah ruang untuk keluarga dan ruang tamu, dan ruangan lainnya untuk tidur. Saat ini ketika warga harus mengungsi di tenda-tenda pengungsian, ia dan keluarganya bisa menggunakan rumah panggung itu untuk beristirahat.

Rumah ini terbuat dari bahan-bahan tiang dan penyangga dari kayu. Demikian juga dinding-dindingnya walaupun tidak penuh. Sementara atapnya dari ijuk. Karena berbahan mayoritas dari pepohonan, H Akbar menyebutnya rumah pohon.

Rumah pohon bisa jadi alternatif hunian sementara yang nyaman, walau di malam hari harus menahan dingin menahan tiupan angin karena dindingnya tidak penuh. Sementara warga lainnya tidur di tenda-tenda. Seperti di seberang rumah kayu H Akbar, terlihat sebuah tenda panjang dengan bahan seng dan terpal.

Menurut H Akbar ada 15 orang yang tinggal dalam satu tenda ini. Minimnya tenda dan terpal, belum lagi lahan untuk lokasi pendirian tenda, membuat para pengungsi harus rela menempati beramai-ramai tenda ini. Sementara hanya ada sedikit rumah kayu seperti yang dimiliki H Akbar.

Di Nusa Tenggara Barat, warga sebenarnya tidak asing dengan rumah tahan gempa atau bale balak. Rumah-rumah ini ada yang berkaki empat dan ada pula berkaki enam. NU Online sempat menjumpai di Dusun Pandanan Desa Malaka yang juga masih utuh beberapa bale balak, sementara rumah-rumah terbuat dari batu bata dan semen hancur oleh gempa.

Warga juga mengenal berugak. Jika bale balak berupa rumah berukuran besar, ada yang 3x6 meter, 4x8 meter, berugak rata-rata berukuran 2,5 x 3 meter. Berugak juga berupa panggung terbuat dari bahan kayu maupun bambu. Letak berugak di depan halaman depan atau samping rumah warga, seperti gazebo.

Berugak menjadi tempat istirahat favorit warga. Tidak hanya untuk duduk-duduk di siang hari, pada malam hari berugak ini lebih tepat sebagai tempat tidur, mengingat warga masih sering khawatir dengan adanya gempa susulan. (Kendi Setiawan)


Terkait