Opini

Revitalisasi Khittah NU

Selasa, 1 Februari 2011 | 03:05 WIB

M. Imam Aziz

Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi masyarakat sipil Indonesia, yang didirikan pada 1926 oleh para ulama sebagai upaya melanjutkan dan mempersatukan kekuatan masyarakat Islam yang telah tumbuh dan berkembang semenjak abad 5 M. Masyarakat Islam yang tumbuh di berbagai kawasan di Nusantara ini memiliki watak yang sama, yakni persilangan yang harmonis antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal. Kerajaan-kerajaan Islam yang ditopang masyarakat sipil Islam, merupakan proto-nasionalisme dari apa nanti disebut Indonesia. Meskipun perlawanan kerajaan-kerajaan Islam terhadap kolonisasi yang massif akhirnya dapat dipatahkan, namun masyarakat sipil yang tetap tumbuh dan berkembang dirawat oleh para Ulama.
gt;
Nahdlatul Ulama bersama kekuatan nasionalisme yang tumbuh dari sedikit kaum elit baru pasca politik-etis, merumuskan cita-cita Indonesia merdeka, dan bersama-sama memperjuangkannya hingga akhirnya kemerdekaan politik diraih. Nahdlatul Ulama ikut serta merumuskan konstitusi Negara yang “secular” yang membuka jalan bagi sebuah tatanan masyarakat Indonesia yang demokratis, dan dengan demikian dapat menentukan jalannya sendiri untuk kemakmurannya.

Namun ada fase di mana masyarakat Islam yang dikawal Nahdlatul Ulama mengalami marjinalisasi. Ukuran-ukuran “kemodernan” yang diterapkan dalam sebuah rancangan politik kebudayaan tertentu, memasukkan masyarakat NU ke dalam kelompok yang tidak bisa ikut serta dalam sebuah kemodernan yang sedang digulirkan. Transformasi masyarakat Nahdlatul Ulama dengan sendirinya berjalan lambat. Hingga kini sebagian dari masyarakat Nahdlatul Ulama masih bergulat dengan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan dengan sendirinya rendahnya akses pada keadilan.

Reformasi

Reformasi 1998 merupakan kesempatan politik yang cukup besar untuk cita-cita transformasi sosial. Demokratisasi politik diharapkan akan menciptakan demokratisasi ekonomi. Amandemen Konstitusi, penataan institusi politik, dll semula memunculkan harapan besar bagi perubahan kondisi masyarakat yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak diuntungkan. Namun perubahan tata kelola politik pasca reformasi itu ternyata tidak punya korelasi dengan kesejahteraan rakyat. Pengaruhnya di bidang ekonomi justru terjadinya “penggelembungan” di bagian atas dan semakin terdesaknya rakyat kecil dari akses keadilan ekonomi.

Tata kelola ini menyebabkan pemiskinan yang hakiki. Kemiskinan absolute ditandai dengan semakin menipisnya penguasaan pada alat produksi (tanah/modal/teknologi). Proses pemiskinan ini tampak nyata pada sektor-sektor pertanian, kelautan, dan usaha kecil menengah: sektor-sektor ini merupakan “habitat” di mana warga NU kebanyakan hidup. Akibatnya gelombang migrasi dari desa ke kota melempar mereka menjadi buruh kasar atau di sektor informal yang tidak memperoleh cukup perlindungan.

Revitalisasi

Khittah NU adalah nafas perjuangan ke arah transformasi sosial yang menyeluruh. Karena itu NU hakikatnya merupakan gerakan sosial (social movement), yang mempunyai cita-cita sosialnya serta cara-cara mewujudkannya. Gerakan sosial selalu berhimpitan dengan politik. Jauh atau dekat dengan politik, tergantung kesempatan politik yang ada.

Khittah NU bertumpu pada fikrah nahdliyah yang menjadi landasan kuat bagi pandangan hidup dan perilaku yang moderat dan seimbang, menolak segala bentuk kemutlakan ekstrem dalam tindakan sosial. Tetapi landasan ini cukup “licin”, sehingga kerap kali mudah terpeleset menjadi “pendukung kekuasaan” yang ada. Sejak 1984, Khittah NU ditegaskan kembali dengan rumusan yang lebih operasional, yakni NU menjaga jarak pada kekuasaan, berada di atas semua golongan dan kelompok politik, serta berjuang ke arah cita-cita sosialnya bersama kekuatan masyarakat sipil lain.

Revitalisasi Khittah NU itu tampaknya semakain relevan saat ini, di tengah pertarungan oligarki politik-ekonomi menuju 2014. Sebetulnya tak banyak harapan akan adanya perubahan pada pemilu/pilpres 2014, siapa pun pemenang dari pertarungan itu. Demokrasi telah kembali menjadi alat pelanggengan kekuasaan politik dan ekonomi.

Dalam situasi itu, NU harus tegak lurus berada pada posisi memastikan negeri ini setia pada cita-cita pendiri bangsa, dan terus menyuarakan seruan moral, bahwa kekuasaan haruslah dipersembahkan untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Sementara itu, secara internal NU harus terus memperbesar modal sosialnya, membangun solidaritas dan kemandirian.

*Penulis adalah Ketua PBNU


Terkait