Seluruh umat manusia, setidaknya harus membuka kembali file-file lama untuk memperingati hari Imlek. Hari Imlek merupakan momentum sentral bagi warga negara untuk bernostalgia merajut kebersamaan di ranah perbedaan. Tahun baru Imlek bagi penganut Khonghucu merupakan hari raya keagamaan yang sangat penting, sakral, dan bermakna. karena tahun ini, bagi masyarakat Konghucu menyiratkan makna penting yakni semangat bersyukur kepada Tuhan, semangat memperbaharui diri, kekeluargaan serta kebersamaan.
Jika membuka kembali lipatan sejarah Indonesia, Imlek secara nasional pertama kali diprakarsai oleh Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan diklaim sebagai hari raya agama Khonghucu. Penetapan Imlek sebagai hari raya dikarenakan adanya pengakuan Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia (sesuai dengan sikap PBB terhadap agama Khonghucu atau Confucianism) dan sejarah di Indonesia membuktikan bahwa di antara organisasi-organisasi Tionghoa yang lainnya memang perlu diakui secara jujur dan terbuka, bahwa Matakinlah pionir dengan bantuan (alm) KH Abdurrahman Wahid dan beberapa tokoh agama lainnya yang sejak dahulu paling konsisten memperjuangkan persamaan hak-hak etnis Tionghoa dan agama Khonghucu pada khususnya walaupun dalam kukungan dan intimidasi rezim orde baru yang sangat diskriminatif kala itu.<>
Ketika rezim orde baru, Imlek dianggap sebagai suatu hal tabu dan menyesatkan yang harus dieliminasi keberadaanya. Sebagai contoh ketika Surjadi Sudirdja menjadi Gubernur Jakarta dikatakan bahwa Imlek dilarang dirayakan, Imlek hanya boleh dirayakan di rumah-rumah saja secara tertutup, hal ini pun diperkuat Direktur Urusan Agama Budha Depag Drs Budi Setyawan yang didasari oleh surat dari Dirjen Bimas Hindhu dan Budha Depag No H/BA.00/29/1/1993, di pelbagai surat kabar menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Tenyata tidak hanya itu, Walubi melalui Dewan Pimpinan Pusatnya pun ikut-ikutan mengeluarkan surat edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hariraya agama Budha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong, Barongsai.
Bisa dikatakan, semua fenomena yang mengidap culture shock itu berbondong-bondong menyerang Imlek. Nah, ketika dinamika masyarakat Tionghoa ketika masa order baru selalu dikebiri, kini setelah reformasi bejalan lebih dari satu dasawarsa, umat Tionghoa harus mengenang fenomena itu sebagai cambuk dalam rangka untuk terus melaakukan terobosan proaktif menegakkan spirit perdamaian yang fleksibel.
Sekedar diingat, bahwa Imlek bukan milik siapapun, melainkan suatu perayaan besar yang dimiliki dunia saat ini yang berdasarkan fakta sejarah ilmiah bahwa Imlek lahir dan distandarisasi oleh dinasti Han untuk menghargai jasa besar yang telah diberikan Khong Hu Cu pada masyarakat banyak. Maka dari itu juga para sinolog barat selalu menyebut Imlek dengan Anno Confuciani (dihitung berdasarkan tahun kelahiran Khong Hu Cu) seperti halnya Anno Domini (in the yearo four lord) Apapun itu, hendaknya tidak perlu dipermasalahkan lagi, akan tetapi atas nama kejujuran dan sportifitas perlu dicatat oleh sejarah secara benar adanya dan konsekuen. Sebaiknya etnis Tionghoa Indonesia yang sekarang sudah mendapatkan hak-haknya dengan lebih baik perlu memberikan sumbangsih yang nyata bagi Indonesia tercinta. Sebab sebagai orang Indonesia yang asli (menurut UU Kewarganegaraan yang baru), sekarang sudah waktunya seluruh komponen bangsa untuk bangkit bersama bersatu mengikis segala krisis yang kita alami di negeri ini, tanpa melihat asal-usul, golongan tertentu akan tetapi dengan melihat suatu fenomena sebagai anak bangsa yang sedang mengalami kesusahan bersama sebagai saudara sebangsa dan se-TanahAir.
Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homogenitas di atas keragaman tidakboleh mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi tidak cuma nasional tetapi juga multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi kebudayaandunia. Fenoemna semacam ini adalah tantangan terberat yang harus kita sadari. Artinya, Indonesia akan menghadapi kenyataan semakin berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, Jepang, Korea, India dan yang paling nampak sekarang adalah Cina dengan diberlakukannya perjanjian ACFTA. Idealnya, keanekaragaman tidak hanya antar suku bangsa yang telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia sebab seperti apa yang dikatakan Khong Hu Cu bahwa "Semua Manusia Adalah Bersaudara".
Karena Tuhan tidak pernah membedakan manusia, tidak ada seorang pun yang diistimewakan dan tidak ada suatu kaum yang ditinggikan di atas yang lainnya. Setiap orang berhak hidup selamat, karena setiap individu dianugerahi fitrah oleh Tuhan. Maka dari itu siapapun dapat menjadi orang yang bijak. Bukan karena keanggotaan seseorang terhadap suatu institusi, tetapi yang penting adalah pengalaman kualitas kemanusiaanya. Bukan pula banyak sedikitnya pengetahuan agama seseorang yang penting, melainkan ketulusan hati dan kesetiaan padahal yang benar. Semoga semangat Imlek dapat membawa kita menjadi individu yang baru dan senantiasa berbudi luhur sehingga dapat berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, di hari imlek ini kesadaran untuk menghargai perbedaan dan untuk menerimanya adalah impian yang harus benar-benar terujud. Karena impian untuk menuju ke arah itu masih kecil skalanya.
* Penulis adalah Peneliti pada The Indonesian View Yogyakarta