Oleh Ahmad Hakim Jayli
Setelah beberapa jam melepas penat, seusai perhelatan Muktamar NU di Jombang, saya mencoba mencari kabar dengan memeriksa pembicaraan di group WhatsApp. Tertarik membaca sebuah testimoni, tepatnya curhat seorang Sahabat Yunior di Group Alumni PMII Komisariat Universitas Brawijaya<> (Kobra) Malang: "Orang2 seperti aku akan menjadi sejarah tersendiri dari perjalanan panjang PMII komisariat brawijaya... Sejarah seorang anak dari ayah marhens yang menjadi pengurus PNI pernah dikejar-kejar banser NU karena dianggap PKI, dan 'aku' si anak marhen itu memilih berproses di PMII dari pada di GMNI."
Terharu, saya membaca komen ini. Salut dan hormatku pada dia, dan juga sahabat-sahabat saya yang masuk PMII bukan karena dia Nahdliyin. Tapi lebih karena ketertarikan dengan cara pandang PMII sebagai gerakan kemahasiswaan dan keagamaan. Bangga juga pada PMII yang bisa menjadi ajang rekonsiliasi sosial, bahkan yang tak bisa dituntaskan oleh negara sekalipun. Beberapa detik, saya coba pahami konteks dari komen sahabat saya itu. Yes, saya baru menangkap. Ini soal keputusan Muktamar NU yang memasukkan PMII ke dalam struktur organisasi NU, sebagai Badan Otonom. Lantas saya mencoba menghiburnya:
Membaca chat sahabat, terkait positioning (replacement?) PMII di Muktamar kemarin, saya begitu berempati. Kurang lebih saya bisa memahami. Apa Anda rasakan, kurang lebih, itu pula yg saya rasakan, walau titik berangkatnya berbeda.
Selasa malam, sehabis keputusan sidang komisi organisasi, tema ini saya obrolkan hingga hampir subuh dg Sahabat Senior Robikin Emhas, di salah satu sudut ruang media center Muktamar. Sama, kami kaget dan merasa abai, kecolongan karena tidak mengawal serius, apalagi maksimal, hingga sahabat-sahabat PB PMII harus sendirian menghadapi forum muktamirin. Iyden Karebet, salah satu fungsionaris PB PMII sempat kami hadirkan, tapi suasana sudah tidak kondusif. Dan besoknya, dugaan kami benar. Sidang pleno laporan hasil komisi, nyaris tak mengubah apapun. Bahkan jalan tengah 'Banom Interdependensi' pun tak mampu mengubah keputusan.
Bagi saya yang berangkat dari kalangan Pesantren, berproses di PMII adalah berkah Tuhan yang tak pernah henti saya syukuri hingga detik ini. Mungkin sama yang dirasakan sahabat-sahabat, yang berlatar dari kalangan lain. PMII Malang menjadikan kita mengenal luasnya alam, yang harus kita sayangi dan rawat rame-rame.
Walau dari pesantren, saya mengenal NU justru di PMII. Di organisasi kemahasiswaan ini 'being process' saya berputar, dengan menjadi 'murid ideologis' Gus Dur. Dari beliau, kita diajari dan diteladani, bahwa NU bukan sekadar organisasi teknis, tapi lebih dari itu, NU adalah sebuah 'grand idea' untuk hidup percaya diri sebagai sosok Muslim Kereen yg mencintai bangsa dan negaranya. NU oleh Gus Dur (sebagaimana juga maksud para muassis NU) ditempatkan sebagai komponen utama civil society di sebuah negara bangsa (nation state) yang digerakkan oleh paham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, bersumber dari ajaran Islam Aswaja yang utuh dan progresif. Di sinilah, saya menemukan meeting point PMII dan NU, yakni perjumpaan visi!
Dan perjumpaan visi itulah sebenarnya relasi ideal PMII dan NU. Tak perlu bersama dalam satu struktur. Itu pula kesimpulan diskusi alumni PMII di Studio TV9 Nusantara saat harlah PMII April lalu. Karena, ketika visi dan cinta sudah bertemu, maka tak penting apakah harus serumah atau berjauhan. Bersama Menuju ke titik perjuangan yg disepakati lebih penting dari pada keharusan selalu bersama. Memang, Kadang kita terlalu takut pada kegelapan malam, saat senja mulai menjelang. Pekatnya malam, akan semakin gulita bila lentera hati dan lilin akal sehat, kita tiup hingga mati. Walau rembulan tak hadir tiap malam, tapi benderang malam bisa saja hadir dari rembulan optimisme kita.
Tapi sudahlah, kami (yang sudah di luar usia PMII) akan coba temani sahabat-sahabat PB PMII (itupun kalau diperlukan), menjalani dan mencari jalan keluar dari posisi sulit kini. Sebagaimana kami akan terus mendorong dan mengawal NU tampil menjadi civil society terbesar di dunia yg berpandangan terbuka dan melindungi. Bukankah cara terbaik menyelesaikan masalah, adalah dengan menghadapinya.
(Tetaplah) Tangan Terkepal dan Maju ke Muka...
*) Ahmad Hakim Jayli, Direktur Utama TV9 Nusantara