Oleh Achmad Marzuki
Alhamdulillah, kita telah tiba di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, segala urusan keduniaan dilonggarkan dan urusan keakhiratan dipupuk dan digenjot lebih kuat. Tadarusan di malam hari kian meramaikan suasana musolla dan masjid sekitar. Tak pelak, banyak pula pemuda yang semarak meramaikan sesi ngabuburit dengan berjalan-jalan atau bertamasya bersama teman.
<>
Jelang hari raya biasanya banyak sanak keluarga yang mudik ke kampung halaman. Agenda ini menjadi agenda wajib tahunan bagi mereka yang merantau dari daerah asal. Mereka pulang kampung untuk meredam kekangenan antar keluarga. Silaturrahmi kiat terjalin semakin erat. Menjadi sebuah momen penting bagi keluarga besar yang tidak lagi hidup dalam satu daerah.
Makna Silaturrahmi
Ada dua kata yang dikenal di masyarakat tetapi sama makna, silaturrahim dan silaturrahmi. Keduanya berasal dari kata yang sama yang berbahasa Arab; silatun yang bermakna menyambung dan al-rahmi yang berarti rahim atau persaudaraan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa diadakannya silaturrahmi dimaksudkan agar jalinan antar kerabat tetap bersambung dan tidak bercerai-berai. Terkadang silaturrahmi dipahami juga sebagai halal bihalal. Agenda rutin ini biasanya menjelang Ramadhan atau pasca Ramadhan. Setelah libur panjang kerja ataupun libur panjang dunia pendidikan.
Silaturrahmi atau halal bihalal adalah tradisi rutin tahunan yang ada di Indonesia, khususnya di masyarakat desa. Walau hanya sekali dua kali setahun, tetapi tradisi ini sangat efektif untuk menjalin hubungan persaudaraan. Banyak ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan dalam keluarga, instansi maupun masyarakat yang dapat dicairkan. Dengan demikian tidak berlebihan jika halal bihalal dikatakan sebagai syifa’ (obat) dari ancaman distorsi hablun minannas (human relations) yang seharusnya harmonis. Terutama ancaman hubungan antar umat beragama, khususnya internal antar umat Islam sendiri.
Realitas yang terjadi satu periode berselang adalah perpecahan dalam tubuh umat Islam yang melibatkan individu kaum muslim. Seperti adanya kelompok baru Islam, Ahmadiyah misalnya. Hal ini telah berakibat pertikaian hebat, bahkan berujung saling bunuh, justru mereka adalah sesama saudara seagama bahkan sedarah. Maka dari itu perlu adanya peningkatan untuk memahami makna halal bihalal, sehingga dapat dimangerti apa tujuan dalam arti tradisi ini.
Menurut Prof Quraisy Syihab, makna halal bihalal dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yakni dari segi hukum, kebahasaan, serta sudut pandang Qur’ani. Dari segi hukum, halal adalah kebalikan dari haram. Berarti halal bihalal adalah upaya untuk menghalalkan suatu perbuatan yang bersifat haram (karena kesalahan atau kekhilafan kepada orang lain). Yakni dengan cara meminta maaf kepada orang yang telah kita disalahi, dengan kata lain sesuatu yang sudah dimaafkan maka dosanya akan dihalalkan (baca; dimaafkan).
Dari sudut pandang kebahasaan, halal bihalal berasal dari halla atau halal yang artinya beragam sesuai lanjutan kalimat “siyaqul kalam” dalam hal ini kami mengambil makna; menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, dan melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dengan demikian makna halal bihalal, jika dilihat dari sudut pandang kebahasaan mempunyai makna yang lebih luas. Tidak sekedar menghalalkan yang haram melainkan ada tujuan tersembunyi dibaliknya. Yaitu mengubah jalan hidup manusia dari kusutisme menjadi lurus (mustaqim), dari keruh menjadi jernih, dan hal ini memperbagus hubungan silaturrahmi antar makhluk (hablum minannas).
Kesadaran Masyarakat
Walaupun dampak silaturrahim atau halal bihalal demikian besar adanya, namun tidak semua elemen masyarakat melaksanakannya, hal ini disebabkan kesadaran antar individu yang berlainan. Konstruk kehidupan antara desa dan kota begitu berbeda. Untuk memahami itu perlu adanya kesadaran. Kesadaran terbagi menjadi empat macam, yakni kesadaran magis, kesadaran apatis, kesadaran kritis, dan kesadaran kritis praksis. Kesadaran magis dapat pula dikatakan takdir tuhan, dalam hal ini manusia beranggapan bahwa apa yang terjadi ini adalah kehendak tuhan, dan mereka merasa emmoh terhadap hal sekitar.
Kesadaran apatis adalah kesadaran naif yang tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Mereka paham, mengerti dan mengetahui apa dan bagaimana yang selayaknya diperbuat namun mereka tidak mau tahu tentang hal sekitar. Ketiga, kesadaran kritis yaitu mereka orang-orang yang hanya suka berdiskusi bagaimana kita bertingkah selayaknya namun mereka tidak menampakkan eksistensinya dalam aksi prilakunya.
Kesadaran manusia yang terakhir adalah kesadaran kritis praksis, dalam hal ini tidak hanya bersifat kritis namun juga mengaplikasikan teori tersusun. Menusia dalam taraf kesadaran ini tidak hanya sekedar dakwah billisan (aspirasi) tapi juga memberi suri tauladan yang baik (bilfi’li). Kegiatan tidak hanya dicanangkan dalam agenda tetapi juga direalisasikan.
Karena begitu penting dan bermanfaat bagi kemaslahatan, tradisi halal bihalal harus tetap dilestarikan dan diambil manfaatnya. Sebab sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin mengerjakan segala hal dengan sendiri dan pasti perlu pertolongan orang lain. Oleh karenanya kita harus menjaga keharmonisan kemasyarakatan. Terbinanya pondasi yang kuat dalam masyarakat dapat memperkuat tali persaudaraan. Serta meningkatkan terus volume frekuensi kebajikan antar individu.
Mencairkan Suasana Sosial
Dengan diterapkannya silaturrahmi yang digelar tiap hadir bulan Ramadhan maka akan terjalin suasana cair dalam kehidupan sosial. Menurut Aristoteles manusia adalah makhluk sosial yang karenanya membutuhkan sesama untuk meraih kehidupan di dunia. Acara silaturrahmi atau halal bihalal ini tidak hanya bertumpu pada kehidupan antar keluarga melainkan lebih bijaksana jika kehidupan bernegara juga diadakan ajang seperti ini.
Semisal pemerintah kota bertandang ke desa, dari kota satu ke kota lainnya, dari desa pada masyarakat di daerahnya. Hal ini menjadi penting sebagai ajang penyaluran aspirasi masyarakat pada pemerintah. Terkadang sangat sulit mengumpulkan masyarakat demi menginformasikan ketentuan dari pusat.
Penulis yakin bahwa segala urusan akan lancar dan nyaman jikalau terjalin sebuah komunikasi yang baik. Untuk menghadirkan komunikasi dengan baik tentu dengan diadakannya perkumpulan-perkumpulan. Perkumpulan besar dirasa sulit cukuplah perkumpulan kecil diadakan dari satu daerah pada daerah yang lain. Banyak hal yang bermanfaat yang didapat dari perkumpulan yang beratasnamakan silaturrahmi atau halal bihalal. Wallahua’lam bisshawab.
* Peneliti di Centre for Research and Islamic Development IAIN Walisongo Semarang