Opini

Ramadhan Ditengah Kultur Kosmopolitan

Ahad, 26 Oktober 2003 | 09:50 WIB

Oleh : Ahmad Kosasih Marzukih*

Fenomena datangnya bulan Ramadhan, selalu memunculkan budaya yang uniqe di masyarkat kosmpolitan (kota). Sebuah budaya yang menampilkan tipikal khas masyarakat kota dan pola interaksi sosial tingkat elite. Di Indonesia, budaya seperti ini sesungguhnya telah menunjukan perkembangan dalam kurun waktu yang telah lama. Hanya kalau kita amati kita dapat melihat perkambangan yang semakin intensif. Baik dalam kuantitas maupun keragaman corak ekspresinya.

<>

Kemudian hal lain yang menonjol adalah, fenomena yang juga hampir mendera semua dimensi dan aspek kehidupan. Baik itu aspek sosial, bisnis, hiburan, ekonomi, hingga politik. Dalam kontek ini, Ramadhan disatu sisi, dan ritual puasa di sisi yang lain, kemudian seakan menjadi media yang efektif yang dimanfaatkan secara maksimal guna mencapai beberapa orientasi yang sifatnya oportunistik-pragmatis. Banyak kalangan menilai bahwa momen suci Ramadhan ini menyimpan  potensi efektif, guna dimanfaatkan untuk pencapaian sebuah orientasi. Lebih dari itu, kesadaran paradigmatik kaum muslimin yang begitu mengagung-agungkan momen puasa secara simbolik, dilihat secara jeli sebagai potensi yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Fenomena kehadiran budaya kosmopolitan sebagai sebuah fenomena yang telah berkembang luas di masyarakat kita sebagai imbas dari pemahaman keagamaan yang terlalu menekankan pada permainan ruang simbol. Disini bisa dipaparkan beberapa potret yang  hadir ditengah-tengah masyarakat kita.

Pertama, dalam aspek sosial. Pada bulan Ramadhan, yang ditandai dengan dilaksanakannya ritual puasa oleh kaum Muslimin, kita dapat menyimak bagaimana realitas sosial seakan-akan mengalami perubahan secara dramatis-radikal dibandingkan dengan hari biasanya. Pada bulan Ramadhan, seakan ada sebuah kekuatan simbolik, yang menyihir realitas sosial untuk mengekspresikan berbagai kegiatan dan tindakan sosial dalam bingkai religiusitas. Berbagai seremoni dan kegiatan sosial tiba-tiba hadir dalam nuansa religi yang sifatnya semu dan simbolik belaka.

Lebih dari itu, kesadaran kognitif masyarakat pun seakan mengalami perubahan drastis. Kalangan masyarakat yang secara ekonomi tergolong menengah ke atas, yang sebelumnya cenderung rendah kepekaan sosialnya, tiba-tiba menjadi sangat peduli pada realitas sosial sekitarnya, menjadi sangat santun, dan seolah sangat dekat dengan Tuhannya.

Namun, semua itu tetap saja sifatnya hanya sebatas pada tataran simbolik belaka. Artinya, Ramadhan ditempatkan sebagai momen efektif untuk menebus segala ketakacuhan sikap mereka sebelumnya atas penderitaan sosial yang dihadapi saudara sebangsanya, tanpa ditindaklanjuti dengan perubahan sikap dan kesadaran yang sifatnya permanen. Kemdudian mereka juga menjadi sangat peka atas realitas sosial, hanya pada momen Ramadhan. Lepas dari momen Ramadhan, sikap individualistis, dominatif, dan kapitalsitik diimplementasikan sebagaimana sebelumnya. Inilah bentuk kesadaran keberagamaan yang semu dan simbolistis. Sebuah bentuk budaya kosmopolit dalam beragama.

Kedua, dalam aras politik, dengan mudah kita dapat melihat bagaimana momen Ramadhan dimanipulasi sedemikian rupa menjadi wahana guna mencari dukungan dan simpati politik masyarakat. Salah satu yang paling potensial adalah dengan menyelenggarakan seremoni keagamaan yang sifatnya massal dan kolektif. Misalnya safari Ramadhan sambil menyelenggarakan buka puasa bersama untuk rakyat miskin, pembagian zakat massal, santunan untuk masyarakat tidak mampu. Nuansa politik dari seremoni tersebut terlihat jelas dari simbol-simbol partai yang dilekatkan pada penyelenggaraan seremoni tersebut. Dalam perspektif politik, ini wajar saja memang. Namun sejauh fenomena ini memberikan ekses negatif pada pendangkalan pemahaman keagamaan masyarakat, dan tindak politisasi agama, maka itu menjadi problem tersendiri yang harus kita antisipasi.

Bukan hanya itu, momen Ramadhan menjadi sangat potensial sebagai wahana untuk melakukan lobi dan bargaining politik antar-beberapa politisi dan pejabat. Media yang dimanfaatkan biasanya adalah seremoni buka puasa bersama antar-pejabat teras dan elite politik. Ini merupakan karakter dan ciri khas budaya kosmopolit, yang memanfaatkan momen dan simbol keagamaan sebagai upaya realisasi kepentingan politis individu dan golongan.

Ketiga, tatkala Ramadhan menjelang, dengan jelas kita bisa menyimak bagaimana dunia hiburan di Tanah Air tiba-tiba berubah haluan menjadi sangat religius, seperti dewi sihir, semua disulap dalam sekejap. Berbagai acara entertainm


Terkait