Oleh Abdullah Alawi
Dalam beberapa hari ini, NU Online didominasi berita haji, pelaksanaan shalat Idul Adha dan qurban. Untuk yang terakhir disebut, bisa jadi sampai dua hari ke depan akan terus diberitakan karena masih termasuk hari tasyrik.
Beberapa tahun lalu, ketika menjelang Idul Adha, saya pernah mewawancarai Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj terkait esensi ibadah qurban. Intinya, kata dia, ibadah tersebut adalah pemerataan! Islam mengajarkan pemerataan.
Menurut Kiai Said, sebetulnya tidak hanya Idul Adha, Idul Fitri pun, Islam mengajarkan hal yang sama (pemerataan), disamping melaksanakan shalat sunat Id dan memperbanyak membaca takbir. Soal membeli pakaian baru, itu perkara lain.
Pada hari raya Idul Fitri, menurut dia, umat Islam yang mampu wajib mengeluarkan zakat fitrah. Kemudian dibagikan kepada 8 asnaf yang berhak. Jangan sampai pada hari yang berbahagia tersebut ada yang kelaparan.
Begitu juga pada Idul Adha, umat Islam yang mampu dianjurkan menyembelih hewan qurban. Kemudian dagingnya jangan dinikmati sendiri, melainkan dibagi-bagikan kepada yang berhak pula.
Nah, di situlah letak pemerataannya, jangan sampai pada hari bahagia tersebut ada orang yang kelaparan. Tentu saja, pemerataan tersebut harus didasari solidaritas yang tinggi.
Rasa solidaritas itulah yang terpenting karena menurut KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Secercah Dakwah, “sikap solider terhadap orang-orang yang hidupnya menderita adalah tulang punggung persatuan." Jika umat Islam tidak memiliki rasa tersebut, berarti tidak memiliki atau tidak punya keinginan untuk persatuan.
Tentu saja seharusnya pemerataan tidak hanya dalam hal yang sekali pakai. Sekali makan langsung habis. Namun yang diperlukan adalah pemerataan di segala bidang, termasuk ekonomi. Karena jika menunggu pemerataan dengan mengandalkan setahun dua kali, padahal orang memiliki hari sebanyak 365 per tahun, mereka bisa sempoyongan menunggu.
Pemerataan bagi yang mampu berqurban, tentu saja tidak mesti ia menyembelih hewan tiap hari. Tapi ya itu tadi memberikan akses, kesempatan, kemampuan supaya orang lain, tetangganya, misalnya, menjadi bisa berqurban juga. Caranya bermacam-macam misalnya mendorong tetangga untuk berdagang dengan memberi bantuan modal.
Jika ada haji mabrur, haji yang sekembali dari Tanah Suci semakin baik dalam ibadah ritual dan sosialnya, barangkali orang berqurban juga harus mabrur. Qurban mabrur memiliki semangat berbagi tidak hanya setahun sekali, tapi tiap hari.