Opini

Qurban dan Gagasan Gerakan Aqiqahisasi

Kamis, 17 Agustus 2017 | 11:00 WIB

Qurban dan Gagasan Gerakan Aqiqahisasi

Ilustrasi (geoado.com)

Oleh Muhammad Ishom

Qurban dan aqiqah adalah dua ibadah yang memiliki persamaan dan perbedaan. Di antara persamaannya adalah sama-sama melibatkan hewan untuk disembelih.  Qurban dilaksankan dengan menyembelih kambing, sapi, kerbau atau unta. Sedang aqiqah dilakukan dengan menyembelih kambing. Qurban dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah dan/atau tiga hari berikutnya yang disebut  hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).   Sedangkan aqiqah idealnya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran si bayi.

Setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha dengan menyembelih hewan-hewan qurban. Seorang pengusaha kaya di negeri ini—sebut saja H. Hartawan—biasa melakukan qurban dengan menyembelih  50 ekor kambing setiap tahunnya. Kambing-kambing itu  diserahkan ke beberapa masjid dan pesantren untuk disembelih atas namanya.

Jika pengusaha kaya tersebut sejauh ini  telah berqurban selama 30 tahun, maka ia telah menyembelih  qurban sebanyak 1.500 ekor kambing. Bisa dibayangkan seberapa besar pahala telah ia dapatkan dari qurban-qurban itu yang kesemuanya atas nama dirinya? Qurban-qurban itu akan menjadi kendaraan pribadinya dan akan mempermudah perjalanannya menuju surga kelak di akhirat. Sungguh beruntung sekali H. Hartawan ini!

Hanya pertanyaannya adalah  apakah H. Hartawan tahu dan peduli bahwa sekian puluh atau bahkan ratusan dari para buruhnya tidak mampu menyembelih hewan aqiqah atas kelahiran anak-anaknya?
 
Bagi saya, pertanyaan di atas sangat penting sebab apa susahnya bagi H. Hartawan untuk mengalihfungsikan sebagian dari kambing-kambing qurbannya, taruhlah 3 sampai 5 ekor misalnya,  untuk diserahkan dan disembelih sebagai hewan aqiqah bagi anak-anak dari para buruhnya? Bukankah merelakan sebagian hewan qurbannya menjadi hewan aqiqah secara substansial tetap bermakna “qurban” dalam arti yang lebih luas?
 
Pentingnya Aqiqah
 
Menyembelih qurban setiap tahun hukumnya sunnah muakkadah bagi yang mampu. Ini sama dengan hukum aqiqah yang juga sunnah muakkadah. Perbedaannya, aqiqah sangat dianjurkan tidak saja bagi orang kaya tetapi juga bagi  orang miskin. Hukum aqiqah bahkan mendekati wajib karena ia merupakan wujud syukur atas anugerah dari Allah berupa  anak.

Rasulallah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Samurah sebagai berikut:

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى

Artinya:  “setiap anak (yang lahir) tergadai (terikat) dengan akikahnya. Maka disembelih (hewan) untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur (rambutnya) dan diberi nama." (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadits tersebut mengandung maksud bahwa seorang anak yang lahir ke bumi tetaplah tergadai hingga ia diaqiqahi dengan disembelihkan hewan pada hari ketujuh. Berbagai riwayat menyatakan seorang anak yang telah diaqiqahi akan bisa memberikan pembelaan berupa syafaat bagi kedua orangtuanya kelak di akhirat. Riwayat lain menyatakan anak yang tidak diaqiqahi bisa merepotkan kedua orangtuanya, seperti susah diatur dan sakit-sakitan.

Terlepas dari validitas riwayat-riwayat diatas, aqiqah merupakan hal penting di dalam Islam karena hukumnya mendekati wajib tanpa memandang apakah seseorang kaya atau miskin.  Maka jika orangtua tidak mampu melakukannya anak diperbolehkan melakukannya sendiri  ketika sudah dewasa atau kapan saja ia mampu sebagai birrul walidain karena pada dasarnya hal ini merupakan tanggung jawab orangtuanya.
 
Permasalahannya adalah banyak anak tidak mampu melakukannya meskipun sudah dewasa dan bahkan sudah menjadi orangtua  dengan memiliki anak sendiri pula. Disinilah perlunya  gerakan aqiqahisasi dengan mengambil momentum Idul Adha dimana banyak orang kaya, seperti H. Hartawan diatas, memiliki kesempatan yang besar untuk mengambil bagian. Mereka dapat dihimbau  merelakan seekor atau dua ekor dari sekian banyak hewan qurbannya untuk diserahkan dan dikorbankan sebagai aqiqah bagi anak-anak atau para orangtua yang belum diaqiqahi karena miskin.

Himbauan seperti itu akan efektif apabila gagasan aqiqahisasi ini mendapat respon positif dari berbagai pihak terutama para alim ulama sebab hambatan yang mungkin adalah karena hal ini merupakan gagasan baru maka akan memunculkan pertanyaan bagaimanakah fiqih memandang hal ini. Jika dari kaca mata fiqih gagasan ini tidak bermasalah dan bahkan dinilai baik, maka tinggal bagaimana hal ini bisa disosialisasikan kepada masyarakat.

Secara teknis pelaksanaan, gagasan gerakan aqiqahisasi dengan mengambil momentum Idul Adha ini tidak sulit diwujudkan karena sudah terbukti beberapa masjid di Solo kadang-kadang menerima kambing aqiqah di hari-hari Qurban untuk melayani permintaan jamaahnya tanpa hambatan berarti. Memang ada sedikit perbedaan dalam menangani daging aqiqah dibandingkan daging qurban. Misalnya, daging aqiqah dibagikan kepada para penerima dalam keadaan sudah matang sehingga tinggal mengkonsumsi saja, sedangkan daging qurban dibagikan dalam keadaan masih mentah.
 
Dengan berpartisipasi dalam gerakan aqiqahisasi,  orang-orang kaya berbuat kebaikan tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk meringankan beban orang lain, yakni para orangtua miskin dalam melaksanakan aqiqah bagi anak-anaknya. Siapa tahu gerakan aqiqahisasi akan berdampak pada menurunnya kenakalan anak-anak Indonesia dan meningkatnya derajat kesehatan mereka. Wallahu a’lam!


Penulis adalah dosen Faklutas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta



Terkait