Opini

Peran Santri dalam Membumikan Islam Nusantara

Jumat, 28 Oktober 2016 | 06:00 WIB

Peran Santri dalam Membumikan Islam Nusantara

Foto: ilustrasi santri

Oleh  Muhamad Nurdin

Islam Nusantara melambung kepermukaan bak balon yang diisi gas, menari-nari diangkasa jagad pergulatan pemikiran, dalam wacana intelektualisme. Ada yang menolak ada yang menerima, bagi yang menolak, semoga mereka tidak gagal paham dalam memahami Islam Nusantara.

Isu jihad dan terorisme yang kemudian dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme, sekarang menjadi persoalan dominan dalam wacana dan praktik politik. Tagedi bom Bali, serangan di jalan Thamrin Jakarta, dan serentetan kejadian lainnya, yang mengatas namakan Islam. Maka, kemudian Islam menjadi tertuduh, sebagai agama kekerasan. 

Kemudian, Islam Nusantara hadir ditengah-tengah kita, bagai oase yang menyejukkan, sekaligus menentramkan. Islam Nusantara adalah Islam yang rahmatal lil aamin, Islam yang damai, Islam yang tidak radikal. Inilah salah satu gugus pemikiran sumbangsih NU kepada bangsa. 

Secara geostrategi dan geopolitik, Islam Nusantara menjadi tawaran konsep keislaman global yang saat ini membutuhkan rujukan. Dalam khazanah pemikiran Islam, Islam Nusantara bukanlah barang baru yang tiba-tiba muncul begitu saja. Salah satu ciri Islam Nusantara adalah santun dalam menyebarkan agama, membawa Islam sebagai agama kedamaian.

Tradisi Islam Nusantara, tidak mungkin menjadikan orang radikal. Tidak mengajarkan membenci, membakar, atau bahkan membunuh, Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, dan tidak  memberangus budaya. NU akan terus mempertahankan karakter Islam Nusantara yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran. Model Islam Nusantara inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia saat ini.

Dalam membangun Islam Nusantara, para penyebar seperti Walisongo cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam Nusantara. Para Wali telah mengembangkan Islam yang ramah yang bersifat kutural. 

Pribumisasi ala Walisongo mengajarkan toleransi, pola pribumisasi inilah yang akhirnya membentuk perwujudan kultur Islam. Pada titik inilah, Islam mulai menjadi bagian dari dinamika agama di Nusantara. Abdurahman Wahid menyebut, bahwa pribumisasi Islam, sebagai strategi dakwah untuk membumikan Islam Nusantara. Priumisasi Islam dalam bayangan Gus Dur adaah mempertemukan spirit Islam dengan kekhasan kultur dan adat masyarakat setempat.

Santri mulai mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru dakwah dengan strategi damai. Perwujudan kultural ala Walisongo ini kemudian mencapai titik dalam bentuk pesantren. Pesantren memiliki ketangguhan dan kemandirian yang tinggi, ketika melawan penjajah.

Pada masa revolusi, jaringan santri kiai berperan penting memperjuangkan kemerdekaan dan melawan kolonial. Fatwa Jihad KH Hasyim Asyíari (1871-1947) pada 22 Oktober 1945 menggerakkan ribuan santri untuk berjuang bersama dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa. 

Pondok pesantren secara historis, cukup penting peranannya di Indonesia. Peran pesantren di masa lalu kelihatan paling menonjol dalam hal pergerakan, memimpin dan melakukan perjuangan dalam rangka mengusir penjajah. Menurut Suryanegara, kondisi saat itu mengubah fungsi pondok pesantren yang tadinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi  a centre of centiment. Oleh karena, setiap perlawanan bersenjata selalu di gerakan dan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pesantren. Pesantren selain sebagai benteng perjuangan, juga sebagai proses perkembangan masyarakat.

Apa yang sudah dilakukan oleh Walisongo, hingga para pendiri NU, menjadi renungan bersama untuk menegaskan kembali konsep Islam Nusantara sebagai wajah asli Islam di negeri ini. Para santri harus tetap mengawal dan membumikan kdnsep Islam Nusantara ini ketengah-tengah publik umatnya.

Penulis adalah Ketua ISNU Kuningan,  Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Kemenag Kuningan, dan penulis beberapa buku yang diterbitkan secara nasional.


 


Terkait