Opini

Pemikiran Islam: Hukum Allah (1)

Selasa, 8 Agustus 2017 | 20:03 WIB

Oleh KH Muhammad Machasin

“Tidak ada hukum selain hukum Allah” (lā ḥukma illā lillāh) atau “Hanya Allahlah pemutus perkara (lā ḥakama ill-Allāh) adalah kalimat yang banyak diucapkan oleh kaum Khawārij sebagai moto. Kalimat ini mula-mula diucapkan untuk menentang taḥkīm, yakni penyelesaian perselisihan antara ‘Ali (khalifah keempat di Medinah, kemudian pindah ke Kūfah, Iraq) dan Muʻāwiah (gubernur Syām yang mencakup Syria, Libanon, Palestina, Yordania dan Israel sekarang, dengan ibukota Damaskus) dengan perjanjian perdamaian kedua belah pihak yang diwakili juru runding yang disebut ḥakam. 

Perselisihan semestinya diselesaikan dengan acuan hukum Allah, demikian mereka berhujah, bukan dengan kesepakatan di antara manusia. Hukum Allah jelas dalam masalah perselisihan itu: ‘Ali adalah khalifah yang sah, sedangkan Muʻāwiah melawan khalifah dan karenanya mesti dihukumi dengan hukuman pemberontak.

Orang yang memberontak harus diperangi sampai kembali taat kepada perintah Allah (QS 49/al-Ḥujurāt: 9). Mereka tidak (mau) melihat kenyataan bahwa perang antara kedua belah pihak sudah berlangsung lebih dari dua bulan dengan tiada kemenangan bagi pihak yang satu atas yang lain. 

Kemudian, dengan tipu dayanya Muʻawiah berhasil menghentikan gerakan pasukan ‘Ali. Beberapa orang dari pihak pasukan ‘Ali yang nantinya tergabung dalam gerakan Khawārij mendesak ‘Ali untuk menghentikan perang ketika pasukan Muʻāwiah mengangkat mushaf Al-Qur’an, karena mengira bahwa lawan mengajak mereka untuk kembali kepada hukum Allah. Ketika kemudian ternyata bahwa penghentian peperangan itu dilanjutkan dengan kesepakatan untuk melakukan arbitrase atau taḥkīm, mereka menolak dan menyerukan moto di atas.

Sebenarnya mereka konsisten dengan prinsip mereka: kembali kepada hukum Allah. Akan tetapi, ketika ternyata apa yang dipahami sebagai hukum Allah itu tidak dijalankan, mereka tidak mau melihat kemungkinan lain, walaupun sudah terbukti bahwa memerangi pemberontak saat itu, yakni Muʻāwiah dan pasukannya, tidak membawa hasil. Apalagi untuk melihat status pemberontak yang disematkan kepada Muʻāwiah. Bukankah kekhalifahan ‘Ali kurang mendapatkan dasar yang kuat karena pemilihannya sebagai khalifah tidak tanpa persoalan?

Pemilihan itu dilakukan di Medinah dalam kedaruratan akibat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman, sementara banyak sahabat Nabi —yang merupakan pemuka masyarakat Muslim— tidak lagi ada di Medinah akibat ekspedisi “militer” ke luar Jazirah Arab yang dilakukan Khalifah ‘Umar dan dilanjutkan oleh Khalifah ‘Utsman. Penduduk Medinah saat itu tidak lagi mewakili umat Islam yang dapat memberikan legitimasi penuh bagi kekhalifahan ‘Ali. Ini dibuktikan dengan perlawanan ‘Ā’isyah-Ṭalḥah-Zubair dan Muʻāwiah-‘Amr bin ‘Āṣ. (Bersambung)


Penulis adalah Mustasyar PBNU



Terkait